VIII. KAJIAN TEORI DAN ATAU TELAAH HASIL PENELITIAN TERDAHULU
A.
Landasan Teori
1.
Pengertian Aswaja
Secara bahasa ada 3 kata untuk mengetahui ta’rif
(definisi) Ahl Sunnah wa al-Jama’ah.
Pertama,
Kata Ahl, dapat berarti pemeluk aliran atau
pengikut madhab. Untuk arti tersebut, Kata Ahl berfungsi sebagai badal
nisbah, karena diakitkan dengan kata al-Sunnah yang berarti
orang-orang yang berpaham sunni (al-sunniyyun).
Kedua, kata al-Sunnah di samping memiliki arti al-hadith (ucapan
cerita), ia juga bersinonim dengan kata al-sirah (sejarah) dan al-Tariqah
(jalan, cara, metode), al-tabi’in (kebiasaan), dan al-shari’ah
(shariat). Dari situ, maka al-sunnah kemudian bisa diartikan sebagai jalan nabi
dan para sahabat (generasi shalaf al-shalih).
Ketiga, kata al-jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan.[1]
Secara Istilah, Ahl Sunnah wa al-Jama’ah ini memang
tidak ditemukan definisi terminologisnya yang baku, baik ketika bermakna aliran
keagamaan atau paham politik. Definisi yang sering kali digunakan adalah
“pengikut jalan yang ditempuh oleh nabi dan para sahabatnya”. [2]
Abdullah bin Abdul Hamid
al-Atsari dan Muhammad bin Ibrahim al-Hamad dalam bukunya mengemukakan pendapat
bahwa Ahl Sunnah wa al-Jama’ah adalah
orang-orang yang menjalani sesuatu seperti yang dijalani oleh Nabi SAW dan
sahabat-sahabatnya. Mereka adalah orang yang berpegang teguh pada Sunnah Nabi
SAW yaitu para sahabat, para tabi’in, dan para imam petunjuk yang mengikuti
jejak mereka. Mereka adalah orang-orang yang istiqomh dalam mengikuti sunnah
dan menjauhi bid’ah, dimana saja dan kapan saja. Mereka tetap ada dan
mendapatkan pertolongan sampai hari kiamat.[3]
2.
Pendidikan Aswaja
Pengertian pendidikan
dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term al-tarbiyah, al-ta’dib dan
al-ta’lim. Dari ketiga istilah tersebut term yang populer digunakan dalam
praktek pendidikan Islam ialah term al-tarbiyah. Penggunaan istilah al-tarbiyah
berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini memiliki banyak arti, akan
tetapi pengertian dasarnya menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara,
merawat, mengatur dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.
Terlepas dari
perdebatan makna dari ketiga term di atas, secara terminologi, para ahli
pendidikan Islam telah mencoba memformulasikan pengertian pendidikan Islam. Di
antara batasan yang sangat variatif tersebut adalah:
1)
Al-
Syaibaniy
Pendidikan
Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan
pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara
pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan profesi di antara
sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat.
2)
Muhammad
Fadhil al-Jamaly
Mendefinisikan
pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan,
mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan
nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut,
diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang
berkaitan dengan potensi akal, perasaan, maupun perbuatannya.
3)
Ahmad D.
Marimba
Pendidikan
Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya
kepribadiannya yang utama (insan kamil).
4)
Ahmad
Tafsir
Mendefinisikan
pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia
berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.[4]
Dari
batasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Aswaja adalah suatu sistem yang memungkinkan
seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ajaran Islam yang ada dalam ideologi
Aswaja NU . Melalui pendekatan ini, ia akan mudah untuk membentuk
kehidupan dirinya sesuai dengan
nilai-nilai ajaran islam dalam aswaja
NU sebagai dasar atas keyakinannya.
a. Metodologi
Pemikiran (Manhajul Fikr) ASWAJA
Jika kita mencermati doktrin-doktrin paham ASWAJA, baik
dalam akidah (iman), syai’at (islam), ataupun akhlak (ihsan) maka kita dapati
sebuah metodologi pemikiran (manhaj alfikr) yang ditengah dan moderat (tawassuth),
berimbang atau harmoni (tawazun), netral atau adil (ta’adul), dan
toleran (tasamuh). Metodologi pemikiran ASWAJA senantiasa menghindari
sikap-sikap tatharruf (ekstrim), baik ekstrim kanan atau kiri. Inilah
yang menjadi esensi identitas untuk mencirikan paham ASWAJA dengan sekte-sekte
islam lainnya. Dan dari prinsip metodologi pemikiran seperti inilah ASWAJA
membangun keimanan, sikap, perilaku dan gerakan.
1) Tawasuth (Moderat)
Tawasuth ialah sebuah sikap tengah atau moderat tidak cenderung ke kanan atau ke
kiri. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat ini sangat urgen
menjadi semangat mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu
berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah (terbaik). Sikap ini
didasarkan firman Allah SWT:
y7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà n?tã Ĩ$¨Y9$# tbqä3tur ãAqߧ9$# öNä3øn=tæ #YÎgx© 3
Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (Q.S Al-Baqarah: 143)
2) Tawazun (Berimbang)
Tawazun adalah sifat berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan
mensinergikan dalil-dalil (pijakan hukum) atau pertimbangan-pertimbangan untuk
mencetuskan sebuah keputusan dan kebijakan. Dalam konteks pemikiran dan amaliah
keagamaan, prinsip tawazun menghindarin sikap ekstrim (tatharuf)
yang serba kanan sehingga melahirkan fundamentalisme dan menghindari sikap
ekstrim yang serba kiri melahirkan liberalisme dalam pengamalan ajaran agama.
Sikap tawazun ini didasarkan pada firman Allah SWT:
ôs)s9 $uZù=yör& $oYn=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ $uZø9tRr&ur ÞOßgyètB |=»tGÅ3ø9$# c#uÏJø9$#ur tPqà)uÏ9 â¨$¨Y9$# ÅÝó¡É)ø9$$Î/ (
Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan
neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (Q.S Al-Hadiid: 25)
3)
Ta’addul (Netral dan Adil)
Ta’addul ialah sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi, dan
menyelesaikan segala permassalahan. Adil tidak selamanya berarti sama atau
setara (tamadsul) adil adalah sikap proporsional berdasarkan hak dan
kewajiban masing-masing. Kalaupun keadilan menuntut adanya kesamaan atau
kesetaraan, hal itu hanya berlaku ketika
realitas individu benar-benar sama dan sama secara persis dalam segala
sifatnya. Apabila dalam realitasnya terjadi tafadhul (keunggulan), maka
keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlil). Penyetaraan
antara dua hal yang jelas tafadlul, ialah tindakan aniaya yang
bertentangan dengan asas keadilan itu sediri. Sikap ta’addul ini
berdasarkan firman Allah SWT:
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. úüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( wur öNà6¨ZtBÌôft ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã wr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)G=Ï9 (
Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
(Q.S Al-Maidah: 8)
4) Tasamuh (Toleran)
Tasamuh ialah sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan
perbedaan dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran, sosial kemasyarakatan,
suku, bangsa, agama, tradisi-budaya, dan lain sebagainya. Toleransi dalam
konteks agama dan keyakinan bukan berarti kompromi akidah. Bukan berarti
mengakui kebenaran keyakinan dan kebatilan kepercayaan orang lain toleransi
agama juga bukan berarti mengakui kesesatan dan kebathilan sebagai sesuatu yang
haq dan benar. Yang salah dan sesat tetap harus diyakini sebagai kesalahan dan
kesesatan. Dan yang haq dan benar harus tetap diyakini sebagai kebenaran yang
haq. Dalam kaitannya dengan toleransi agama, Allah SWT berfirman:[5]
ö/ä3s9 ö/ä3ãYÏ uÍ<ur ÈûïÏ ÇÏÈ
Artinya: untukmu agamamu, dan
untukkulah, agamaku. (Q.S Al-Kafirun: 6)
`tBur Æ÷tGö;t uöxî ÄN»n=óM}$# $YYÏ `n=sù @t6ø)ã çm÷YÏB uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ÌÅ¡»yø9$# ÇÑÎÈ
Artinya: Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk
orang-orang yang rugi. (Q.S Al-Imran: 85)
b. Tujuan Aswaja Terhadap Pendidikan
Tujuan aswaja sebenarnya adalah mengarahkan kepada
pembentukkan generasi baru (generasi yang beriman dan berpegang teguh
kepada ajaran-ajaran Islam yang benar) yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dimana generasi baru itu
bekerja untuk memformat umat ini dengan format Islam dalam semua
aspek kehidupan. Oleh karena itu, sarana yang digunakan untuk mewujudkan tujuan
tersebut terbatas pada perubahan terbatas pada perubahan tradisi pada umumnya
dan pembinaan para pendukung dakwah agar komitmen dengan ajaran-ajaran Islam,
sehingga mereka menjadi teladan bagi orang lain dalam berpegang teguh
kepada-Nya, memelihara dan tunduk kepada hukum-hukum-Nya.[6]
Serta agar manusia berada dalam kebenaran dan
senantiasa berada dalam jalan yang lurus, jalan yang telah digariskan oleh
Allah Subhanahu Wata’ala. Inilah yang akan mengantarkan
manusia kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.[7]
3.
Pembinaan Moral
a. Pengertian Aqidah
Aqidah menurut bahasa berasal dari kata العقد (akad) artinya:
Pertalian, penguatan, pemantapan, kepercayaan, ikatan kuat, berpegang teguh,
saling merapatkan, penetapan, dan termasuk juga keyakinan dan kepastian. Aqidah
menurut istilah adalah perkara-perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan
diyakini dengan mantap oleh jiwa, sehingga perkara-perkara itu menjadi keyakinan
yang teguh, tidak tergoyahkan oleh kerguan, dan tidak terkotori oleh
kebimbangan.[8]
b. Peran dan Kedudukan Aqidah dalam
Kehidupan Muslim.
Menurut Imamuddin Muslim, Tuhan Mengacu pada sesuatu yang mendominasi
manusia, sehingga manusia takhluk kepada kekuatan yang mendominasi itu. Oleh
karena itu, Tuhan bisa mencakup apa saja, misalnya ideologi, kepercayaan kepada
hal-hal ghaib, ataupun hal lain yang dianggap memiliki kekuatan-kekuatan
tertentu seperti keris, pohon, atau batu besar.[9]
c. Fungsi Aqidah
Aqidah adalah dasar, fondasi untuk mendirikan bangungan. Semakin tinggi
bangunan yang akan didirikan, harus semakin kokoh fondasi yang dibuat. Kalau
fondasinya lemah bangunan itu akan cepat ambruk. Tidak ada bangunan tanpa
fondasi.
Kalau ajaran islam kita bagi dalam sistematika aqidah, ibadah, akhlak,
mu’amalat, atau aqidah, syari’ah dan akhlak, atau, iman, islam, ihsan, maka
ketiga aspek atau keempat aspek di atas tidak dapat dipisahkan sama sekali.
Satu sama lain saling terikat.
Seseorang yangmemiliki aqidah yang kuat, pasti akan melaksanakan ibadah
dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia, bermu’amalat dengan baik. Ibadah
seseorang tidak akan diterima oleh Allah SWT kalau tidak dilandasi dengan
aqidah. Seseorang tidaklah dinamai berakhlak mulia bila tidak memiliki aqidah
yang benar. Begitu seterusnya bolak-balik dan bersilang.[10]
d. Pendidikan Akidah
Pendidikan pertama yang harus
diterima setiap pemuda muslim ialah pendidikan akidah yang benar. Yaitu
akidah Salafiyah yang dianut oleh generasi salaf umat ini. Sebab Allah Ta’ala telah
menjadikan akidah para sahabat sebagai standar akidah yang benar.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah
beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka
berpaling, Sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka
Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha
mendengar lagi Maha mengetahui.[11]
Ibn
Al-Qoyyim rohimahulloh mengatakan: “tauhid” adalah perkara pertama
yang didakwahkan oleh para Rosul, persinggahan pertama di tengah jalan, dan
pijakan pertama yang menjadi pijakan orang yang melangkah kepada Allah ta’ala.[12]
Jadi, setiap pendidik
hendaknya tidak pernah membiarkan setiap kesempatan berlalu tanpa membekali
para anak didik dengan bukti-bukti yang menunjukkan kepada Alloh Ta’ala,
bimbingan-bimbingan yang bisa memperkokoh iman, dan peringatan-peringatan yang
bisa memperkuat aspek akidah. Teknik pemanfa’atan kesempatan untuk memberikan
nasihat-nasihat keimanan ini adalah teknik yang dipillih oleh sang pendidik
pertama (Muhammad sholallohu ‘alaihi wasalam). Beliau selalu berusaha mengarahkan para peserta
didik untuk mengangkat dan memperkuat keimanan dan keyakinan yang ada di dalam
hati mereka.[13]
e. Aspek Dalam Pendidikan Aqidah
Aqidah memiliki enam Aspek, yaitu: keimanan pada
Allah, pada para Malaikat-Nya, iman kepada para Rasul utusan-Nya, pada hari
akhir, dan iman kepada ketentuan yang telah dikehendaki-Nya. Apakah ini
takdir baik atau takdir buruk. Dan seluruh Aspek ini merupakan hal yang gaib.
Kita tidak mampu menangkapnya dengan panca indra kita.[14]
Seperti yang telah dijelaskan di atas maka
kita akan menemukan lima pola dasar pembinaan aqidah anak seperti: Membacakan
kalimat tauhid pada Anak, menanamkan kecintaan mereka pada Allah, pada
Rasulullah Muhammad SAW, mengajarkan Al-qur’an dan menanamkan nilai perjuangan
rasul serta pengorbanan beliau pada mereka.
Imam Al-Gazali menjelaskan secara khusus
bagaimana menanamkan keimanan pada anak. Belaiau berkata, “Langkah pertama yang
bisa diberikan kepada mereka dalam menanamkan keimanan adalah dengan memberikan
hafalan. Sebab proses pemahaman harus diawali dengan hafalan terlebih dahulu.
Ketika anak hafal akan sesuatu kemudian memahaminya, akan tumbuh dalam dirinya
sebuah keyakinan dan akhirnya anak akan membenarkan apa yang telah dia yakini
sebelumnya. Inilah proses pembenaran dalam sebuah keimanan yang dialami anak
pada umumnya.[15]
[1] Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH.
M. Hasyim Asy'ari tentang ahl al-sunnah wa al-jama'ah (Surabaya: Khalista,
2010), 32.
[3]Abdullah
bin Abdul Hamid al-Atsari dan Muhammad bin Ibrahim al-Hamad, Ringkasan Keyakinan Islam (Aqidah Ahlus Sunnah
wal Jamaah) (Surabaya: Pustaka Elba, 2006), 291.
[4] Nizar,
Samsul, Haji; Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan
Praktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 25-32.
[5] Nur sayyid
santoso kristeva, Manifesto Wacana Kiri (Yogyakarta: Institute For
Philosophycal And Social Studies (INPHISOS), 2010), h. 124-125
[6]Iwan
Prayitno, Kepibadian
Da’i: Bahan Panduan bagi Da’I dan Murobbi (Bekasi: Pustaka tarbiyatuna, 2003), 385
[8] Abdullah
bin Abdul Hamid al-Atsari dan Muhammad bin Ibrahim al-Hamad, Ringkasan Keyakinan Islam (Aqidah Ahlus Sunnah
wal Jamaah), (Surabaya: Pustaka Elba, 2006), 45.
[9] Zaky Mubarok Akidah Islam (Yogyakarta:
UII Press: 2003), 32
[10]Yunahar Ilyas, M.Ag., Lc, Kuliah Aqidah
Islam (Yogyakarta: LPPI, 2006), 10
[11]Ahmad
Farid, Pendidikan Berbasis Metode Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Surabaya: Pustaka eLBA, 2011), 116
[14] Muhammad
Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, (Cet. II, Kairo:
Al-Bayan, 1988), h. 109.
No comments:
Post a Comment