Sunday 28 December 2014

KETERKAITAN ANTARA WARIS DAN WASIAT



BAB
I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Syari’at Islam telah meletakkan aturan kewarisan, wasiat dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya. Agama Islam menetapkan hak milik seseorang atas harta, baik laki-laki atau perempuan melalui jalan syara’, seperti perpindahan hak milik laki-laki dan perempuan di waktu masih hidup ataupun perpindahan harta kepada para ahli warisnya setelah ia meninggal dunia.
Islam tidak mendiskriminasikan antara hak anak kecil dan orang dewasa. Kitabullah yang mulia telah menerangkan hukum-hukum waris dan wasiat sesuai ketentuan masing-masing secara gamblang, dan tidak membiarkan atau membatasi bagian seseorang dari hak-haknya. Al-Qur’an al-Karîm dijadikan sandaran dan neracanya. Hanya sebagian kecil saja (perihal hukum waris dan wasiat) yang ditetapkan dengan Sunnah dan Ijma’. Di dalam syari’at Islam tidak dijumpai hukum-hukum yang diuraikan oleh al-Qur’an al-Karîm secara jelas dan terperinci sebagaimana hukum waris maupun wasiat.

B.     Rumusan Masalah

1.   Apa pengertian waris dan wasiat?
2.   Bagaimana contoh pelaksanaan waris dan wasiat?
3.   Bagaimana keterkaitan antara waris dengan wasiat?
                                                                                        








 

BAB
II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Waris Dan Wasiat
1.      Pengertian Waris
Menurut bahasa waris ialah, berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Sedang menurut istilah, waris adalah harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli waris. Ahli waris ialah orang yang berhak menerima harta peninggalan orang yang meniggal. Sedangkan harta warisan ialah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meniggal baik berupa uang atau materi.[1]

2.      Pengertian Wasiat
Wasiat dari segi bahasa berarti pesanan. Berwasiat berarti berpesan untuk melaukan sesuatu hal. Sedang menurut istilah wasiat adalah memberikan hak untuk memiliki sesuatu secara sukarela (tabarru’) yang pelaksanaanya ditangguhkan setelah yang berwasiat meninggal dunia, baik yang diwasiatkan itu berupa benda atau manfaat (jasa).[2]


B.     Contoh Pelaksanaan Waris
Salah satu contoh pelaksanaan pembagian waris dalam islam ketika menemukan suatu permasalahan yaitu,: “Seorang Ayah meninggal dunia, dengan para ahli waris sebagai berikut: seorang isteri, seorang anak laki-laki, dan tiga anak perempuan. Harta warisnya senilai Rp 100 juta”.
Maka dalam hukum waris Islam, isteri merupakan ash-habul furudh, yaitu ahli waris yang mendapat bagian harta waris dalam jumlah tertentu. Isteri mendapat 1/4 (seperempat) jika suami yang meninggal tidak mempunyai anak, dan mendapat 1/8 (seperdelapan) jika mempunyai anak.[3]
2
Dalam kasus ini suami mempunyai anak, maka bagian isteri adalah 1/8 (seperdelapan) sesuai dalil Al-Qur`an :
bÎ*sù tb$Ÿ2 öNà6s9 Ó$s!ur £`ßgn=sù ß`ßJV9$# $£JÏB Läêò2ts? 4
Artinya: “Jika kamu (suami) mempunyai anak, maka para isteri itu memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan…” (Q.S An-Nisaa` : 12).
Sedangkan seorang anak laki-laki dan tiga anak perempuan adalah ashabah, yaitu ahli waris yang mendapat bagian harta waris sisanya setelah diberikan lebih dulu kepada ash-habul furudh.
Keempat anak tersebut mendapat harta sebanyak = 7/8, berasal dari harta asal dikurangi bagian ibu mereka (1 – 1/8 = 7/8).
Selanjutnya bagian 7/8 itu dibagi kepada keempat anak tersebut dengan ketentuan bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan sesuai dalil Al-Qur`an :
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4  
Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian harta waris untuk) anak-anakmu, yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (Q.S An-Nisaa` [4] : 11)
Maka bagian anak perempuan pertama tersebut (misalkan namanya Ana) = 1 bagian. Bagian anak perempuan kedua (misal namanya Binti) = 1 bagian, bagian anak perempuan ketiga (misalnya namanya Chusnul) = 1 bagian dan bagian anak laki-laki (misal namanya Dahlan) = 2 bagian. Maka harta ashabah tadi (7/8) akan dibagi menjadi 5 bagian (dari penjumlahan 1 + 1 + 1 + 2), atau penyebutnya adalah 5.
Jadi bagian Ana = 1/5 dari 7/8 = 1/5 X 7/8 = 7/40, Binti= 1/5 dari 7/8 = 1/5 X 7/8 = 7/40, Dahlan = 1/5 dari 7/8 = 1/5 X 7/8 = 7/40, Bagian Dahlan = 2/5 dari 7/8 = 2/5 X 7/8 = 14/40. Bagian Ana dan Binti sama dengan bagian Chusnul = 1/5 X 7/8 = 7/40.
Berdasarkan perhitungan di atas, maka bagian isteri = 1/8 X Rp 100 juta = Rp 12,5 juta. Bagian Ana, Binti dan Chusnul masing-masing (anak perempuan) = 7/40 x Rp 100 juta = Rp 17,5 juta. Sedang bagian Dahlan (satu anak laki-laki) adalah = 14/40 x Rp 100 juta = Rp 35 juta.[4]


C.    Contoh Pelaksanaan Wasiat
1.      Tata Cara Berwasiat
Di dalam KHI Pasal 195 ayat (1) dinyatakan bahwa: Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua oramg saksi, atau dihadapan notaris.

2.       Wasiat Wajibah
Wasiat wajibah adalah wasiat yang diwajibkan atas kerabat-kerabat terdekat yang tidak mendapat bagian pusaka (harta warisan).
Al-jashshash dalam kitabnya yaitu Ahkamul Qur’an menjelaskan bahwa ayat tersebut telah jelas menunjukkan akan wajibnya wasiat untuk para keluarga yang tidak mendapat bagian harta warisan.
Di kalangan para ulama masih terdapat pro dan kontra mengenai wasiat wajibah ini. Mayoritas ahli tafsir dan jumhur ahli fiqh menjelaskan bahwa ayat mengenai wasiat wajibah tersebut telah di naskh dengan ayat-ayat mawarits. Namun sebagian lagi berpendapat bahwa hukum wasiat wajibah tersebut masih berlaku meskipun telah di mansukh oleh ayat-ayat waris Ibnu Hazm berpendapat bahwa apabila tidak diadakan wasiat untuk para kerabat yang tidak mendapat bagian waris, maka hakim harus bertindak sebagai muwarits yaitu memberi sebagian dari harta peninggalan kepada kerabat-kerabat yang tidak mendapatkan bagian harta warisan.
Wasiat wajibah pun secara eksplisit tercantum dalam KHI Pasal 209 ayat (1) yaitu: harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 yang tersebut di atas sedangkan terhadapn orang tua yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan anak angkatnya.[5]


D.    Keterkaitan Antara Waris Dengan Wasiat
Adapun hal-hal yang mempunyai keterkaitan antara waris dengan wasiat, diantaranya adalah:
1.      Apabila warisan itu tidak harus pewarisnya meninggal terlebih dahulu. Sedangkan, apabila wasiat orang yang pemberi wasiat harus meninggal terlebih dahulu mengenai hartanya.
2.      Dalam hal pembatalannya keduanya sama-sama, yaitu dalam soal membunuh. Maka, keduanya batal dengan sebab itu.
3.      Apabila waris sudah ditentukan berapa bagian yang diperoleh masing-masing. Akan tetapi, jika wasiat dengan menggunakan surat wasiat.


[1] Amir  Abyan, Fiqih Jilid II, (Semarang: CV. Toha Putra, 1995), hal. 33.
[2] Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal.  91.
[3] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Risalah fil Faraidh, hal. 7.
[5] Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum Waris Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hal. 291.

No comments:

Post a Comment