BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah khilafah Abbasiyah di Baghdad runtuh akibat serangan
tentara Mongol, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran yang sangat
drastis. Wilayah kekuasaannya tercabik-cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang
satu sama lain bahkan saling memerangi. Beberapa peninggalan budaya dan
peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol itu. Namun,
kemalangan tidak berhenti sampai di situ. Timur Lenk, sebagaimana telah
tercatat dalam sejarah menghancurkan pusat-pusat kekuasaan Islam yang lain.
Keadaan politik umat Islam secara keseluruahan baru
mengalami kemajuan kembali setelah muncul dan berkembangnya tiga kerajaan
besar. Tiga kerajaan tersebut
adalah Utsmani di Turki, Mughal di India, dan Shafawi di Persia. Makalah ini
akan berusaha mengkaji sejarah tentang kerajaan Shafawi yang ada di Persia.
Dalam pengkajian sejarah dan peradaban Islam, sebenarnya ada
dua dinasti yang sangat berperan dan dominan dalam menghidupkan dan menyebarkan
paham syi’ah di Persia, yaitu dinasti Buwaihi dan dinasti Shafawi. Dinasti
Buwaihi (932-1055 M) berada pada periode klasik Islam, sedangkan dinasti Safawi
(1501-1722 M) hidup pada masa periode pertengahan lslam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah proses kemunduran kerajaan Dinasti Shafawi?
2. Bagaimanakah Proses berakhirnya Kerajaan Dinasti Safawi?
3. Apakah faktor yang menyebabkan runtuhnya kekuasaan
Kerajaan Dinasti Shafawi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kemunduran Dinasti Shafawi
Sepeninggal Abbas I, Shafawi diperintah oleh raja-raja yang lemah
dan memiliki perangai dan sifat yang buruk. Hal ini menyebabkan rakyat kurang
respon dan timbul sikap masa bodoh terhadap pemerintahan.
Menurut Jaih Mubarok, setelah Abbas I, dinasti
Safawi mengalami keminduran. Sulaiman, pengganti Abbas I, dinasti Safawi,
melakukan penindasan dan pemerasan terhadap Sunni dan memaksakan ajaran syi’ah
kepada mereka. Penindasan semakin parah terjadi pada zaman Sultan Husein,
pengganti sulaiman. Penduduk Afganistan (saat itu bagian dari Iran) dipaksa
untuk memeluk Syi’ah dan ditindas.[1]
Raja-raja yang menggantikan setelah kepemerintahan Abbas
I adalah:
1.
Safi Mirza. Ia adalah raja yang kejam terhadap
pembesar-pembesar kerajaan. Pada pemerintahannya kota Qandahar (sekarang
termasuk wilayah Afghanistan) jatuh ketangan kerajaan Mughal dan Baghdad
direbut Turki Usmani.
2.
Abbas II. Ia adalah raja yang suka mabuk,
minum-minuman keras sehingga jatuh sakit dan meninggal. Sepeninggalnya kota
Qandahar dapat direbut kembali oleh wazir-wazirnya.
3.
Sulaiman. Ia juga seorang pemabuk dan sering
bertindak kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya.
4.
Shah Husein. Ia adalah pemimpin yang alim. Ia
memberi kesempatan kepada para ulama Syi’ah yang sering memaksakan kehendak
terhadap penganut aliran sunni. Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan
bangsa Afghan yang dipimpin oleh Mir Vays yang kemudian digantikan oleh Mir
Mahmud. Pada masa pemberontakan Mir Mahmud ini, kota Qandahar lepas dari
Safawi, kemudian disusul kota Isfahan. Pada 12 Oktober 1722 M Shah Husein
menyerah.[2]
5.
Tahmasp II. Dengan dukungan dari suku Qazar
Rusia, ia memproklamirkan diri sebagai raja yang berkuasa atas Persia dengan
pusat kekuasaannya di Astarabad. Kemudian ia bekerja sama dengan Nadhir
Khan untuk memerangi bangsa Afghan yang menduduki kota Isfahan. Isfahan
berhasil direbut dan Safawi kembali berdiri. Kemudian Tahmasp II dipecat oleh
Nadir Khan pada 1732 M.
6.
Abbas III. Ia adalah pengganti Tahmasp II yang
diangkat pada saat masih kecil.
Pada 1736 M, Abbas III dilengserkan kemudian Kerajaan safawi
diambil alih oleh Nadir Khan. Dengan begitu, maka berakhirlah kerajaan Shafawi.
Hanya satu abad setelah ditinggal Abbas I, kerajaan ini mengalami kehancuran.[3]
B.
Berakhirnya Dinasti Shafawi
1.
Pemberontakan
Sunni Afghanistan
Kejatuhan safawiyah bermula dari pemberontakan
kelompok Sunni Afghanistan. Pemberian kekuasaan besar oleh Shah Ḥusein, pengganti
Sulaiman dan memerintah Safawiyah mulai tahun 1694 M sampai dengan 1722
M, kepada para ulama Syi’ah yang sering memaksakan pendapatnya terhadap
penganut aliran Sunni memunculkan pemberontakan golongan Sunni Afganistan.
Pemberontakan bangsa Afghan tersebut muncul
pertama kali pada tahun 1709 M di bawah pimpinan Mir Vays dan berhasil merebut
wilayah Qandahar. Pemberontakan lainnya terjadi di Herat dan suku Ardabil
Afghanistan berhasil menduduki Mashad. Mir Mahmud, yang berkuasa di Qandahar
menggantikan Mir Vays, berhasil mempersatukan pasukannya dengan pasukan
Ardabil. Dengan kekuatan gabungan ini, Mir Mahmud dapat merebut negri-negri
Afghan dari kekuasaan Safawiyah.
Setelah posisinya di Afghan semakin kuat, Mir
Mahmud dengan kekuatan gabungannya berusaha menguasai Persia. Pada tahun 1721,
ia berhasil merebut Kirman. Tak lama kemudian, ia menyerang Isfahan,
mengepungnya selama 6 bulan dan
mendesak Shah Ḥusain untuk menyerah
tanpa syarat dan pada tanggal 12 Oktober 1722M, Shah Ḥusein menyerah. Pada
tanggal 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan.
2.
Nadir Khan
Mengakhiri Safawiyah
Salah seorang putra Ḥusein, bernama Ṭahmaz II, berusaha
merebut kembali daerah kekuasaan Safawiyah dari bangsa Afghan. Dengan dukungan
penuh dari suku Qazar dari Rusia, ia memproklamasikan dirinya sebagai raja yang
sah dan berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya di kota Astarabad. Pada
tahun 1726 M, Ṭahmaz bekerja sama
dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan
yang menduduki Isfahan.
Asyraf, yang menggantikan Mir Muhmud dan
berkuasa di Isfahan, digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729
M dan Asyraf pun terbunuh dalam pertempuran itu. Dengan
demikian dinasti Shafawiyah kembali berkuasa. Namun pada bulan Agustus 1732 M,
Ṭahmaz II depecat oleh Nadir Khan dan diganti oleh
Abbas III (anak Ṭahmaz II) yang
ketika itu masih kecil. Empat tahun kemudian, tepatnya, 8 Maret 1736, Nadir
Khan mengangkat dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III. Dengan
demikian, berkhirlah kekuasaan dinasti Safawiyah.
C. Faktor-faktor yang Menyebabkan
Berakhirnya Dinasti Shafawi
Adapun faktor-faktor
yang menyebabkan berakhirnya kekuasaan kepemerintahan kerajaan Dinasti Shafawi, diantaranya:
1.
Adanya
konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan Usmani. Berdirinya kerajaan Safawi
yang bermadzhab Shi'ah merupakan ancaman bagi kerajaan Usmani, sehingga tidak
pernah ada perdamaian antara dua kerajaan besar ini.
2.
Adanya dekadensi moral yang melanda sebagian
para pemimpin Safawi.
3.
Pasukam Ghulam yang dibentuk Abbas I tidak
memiliki semangat perang seperti Qilzibash yang dikarenakan pasukan tersebut tidak
disiapkan secara terlatih dan tidak melalui proses pendidikan rohani.
PENUTUP
KESIMPULAN
Kemunduran
kerajaan Safawiyah di antaranya adalah dekadensi moral yang melanda para
pemimpin kerajaan ini. Safi Mirza adalah raja yang kejam terhadap
pembesar-pembesar kerajaan namun lemah menghadapi musuh. ‘Abbas II,
pengganti Safi Mirza, adalah raja yang suka minum minuman keras sehingga
ia jatuh sakit dan meninggal. Demikian pula Sulaiman, pengganti
‘Abbas adalah raja yang suka minum minuman keras dan
kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya. Akibatrnya, rakyat bersikap
masa bodoh terhadap pemerintahan.
Kejatuhan
safawiyah bermula dari pemberontakan kelompok Sunni Afghanistan yang dipicu
oleh Pemberian kekuasaan besar kepada para ulama Syi’ah yang sering memaksakan
pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni. Pemberontakan yang muncul pertama
kali pada tahun 1709 M dan berhasil merebut wilayah Qandahar ini terus bergerak
merebut daerah-daerah Afghanistan dari kekuasan Safawi. Setelah posisinya di
Afghanintan semakin kuat, kelompok pemberontak ini berusaha menguasai Persia
hingga Shah Ḥusayn menyerah pada tanggal 12 Oktober 1722 M.
Kejatuhan
Safawiyah yang ke dua kali karena disingkirkan oleh Nadir Khan mendorong para
ulama terkemuka meninggalkan imperium dan menetap di kota-kota suci Syi’ah,
Najaf dan Karbala yang berada di Irak Usmani.
Adapun faktor-faktor
yang menyebabkan berakhirnya kekuasaan kepemerintahan kerajaan Dinasti Shafawi, diantaranya: Adanya konflik
yang berkepanjangan dengan kerajaan Usmani, Adanya dekadensi moral yang melanda sebagian
para pemimpin Safawi, Pasukam Ghulam
yang dibentuk Abbas I tidak memiliki semangat perang seperti Qilzibash yang dikarenakan
pasukan tersebut tidak disiapkan secara terlatih dan tidak melalui proses
pendidikan rohani, Seringnya
terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga
istana.
DAFTAR PUSTAKA
Mubarok, Jaih. 2004. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: Pustaka
Bani Quraisy.
Yatim, Badri. 2004. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Super!!
ReplyDelete