Sunday 28 December 2014

KEMUNDURAN DAN BERAKHIRNYA DINASTY SHAFAWI

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Setelah khilafah Abbasiyah di Baghdad runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran yang sangat drastis. Wilayah kekuasaannya tercabik-cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling memerangi. Beberapa peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol itu. Namun, kemalangan tidak berhenti sampai di situ. Timur Lenk, sebagaimana telah tercatat dalam sejarah menghancurkan pusat-pusat kekuasaan Islam yang lain.
Keadaan politik umat Islam secara keseluruahan baru mengalami kemajuan kembali setelah muncul dan berkembangnya tiga kerajaan besar. Tiga kerajaan tersebut adalah Utsmani di Turki, Mughal di India, dan Shafawi di Persia. Makalah ini akan berusaha mengkaji sejarah tentang kerajaan Shafawi yang ada di Persia.
Dalam pengkajian sejarah dan peradaban Islam, sebenarnya ada dua dinasti yang sangat berperan dan dominan dalam menghidupkan dan menyebarkan paham syi’ah di Persia, yaitu dinasti Buwaihi dan dinasti Shafawi. Dinasti Buwaihi (932-1055 M) berada pada periode klasik Islam, sedangkan dinasti Safawi (1501-1722 M) hidup pada masa periode pertengahan lslam.
B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah proses kemunduran kerajaan Dinasti Shafawi?
2.      Bagaimanakah Proses berakhirnya Kerajaan Dinasti Safawi?
3.      Apakah faktor yang menyebabkan runtuhnya kekuasaan Kerajaan Dinasti Shafawi?




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Kemunduran Dinasti Shafawi
Sepeninggal Abbas I, Shafawi diperintah oleh raja-raja yang lemah dan memiliki perangai dan sifat yang buruk. Hal ini menyebabkan rakyat kurang respon dan timbul sikap masa bodoh terhadap pemerintahan.
Menurut Jaih Mubarok, setelah Abbas I, dinasti Safawi mengalami keminduran. Sulaiman, pengganti Abbas I, dinasti Safawi, melakukan penindasan dan pemerasan terhadap Sunni dan memaksakan ajaran syi’ah kepada mereka. Penindasan semakin parah terjadi pada zaman Sultan Husein, pengganti sulaiman. Penduduk Afganistan (saat itu bagian dari Iran) dipaksa untuk memeluk Syi’ah dan ditindas.[1]
Raja-raja yang menggantikan setelah kepemerintahan Abbas I adalah:
1.      Safi Mirza. Ia adalah raja yang kejam terhadap pembesar-pembesar kerajaan. Pada pemerintahannya kota Qandahar (sekarang termasuk wilayah Afghanistan) jatuh ketangan kerajaan Mughal dan Baghdad direbut Turki Usmani.
2.      Abbas II. Ia adalah raja yang suka mabuk, minum-minuman keras sehingga jatuh sakit dan meninggal. Sepeninggalnya kota Qandahar dapat direbut kembali oleh wazir-wazirnya.
3.      Sulaiman. Ia juga seorang pemabuk dan sering bertindak kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya.
4.      Shah Husein. Ia adalah pemimpin yang alim. Ia memberi kesempatan kepada para ulama Syi’ah yang sering memaksakan kehendak terhadap penganut aliran sunni. Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan bangsa Afghan yang dipimpin oleh Mir Vays yang kemudian digantikan oleh Mir Mahmud. Pada masa pemberontakan Mir Mahmud ini, kota Qandahar lepas dari Safawi, kemudian disusul kota Isfahan. Pada 12 Oktober 1722 M Shah Husein menyerah.[2]
5.      Tahmasp II. Dengan dukungan dari suku Qazar Rusia, ia memproklamirkan diri sebagai raja yang berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya di Astarabad. Kemudian ia bekerja sama dengan Nadhir Khan  untuk memerangi bangsa Afghan yang menduduki kota Isfahan. Isfahan berhasil direbut dan Safawi kembali berdiri. Kemudian Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan pada 1732 M.
6.      Abbas III. Ia adalah pengganti Tahmasp II yang diangkat pada saat masih kecil.
Pada 1736 M, Abbas III dilengserkan kemudian Kerajaan safawi diambil alih oleh Nadir Khan. Dengan begitu, maka berakhirlah kerajaan Shafawi. Hanya satu abad setelah ditinggal Abbas I, kerajaan ini mengalami kehancuran.[3]

B.  Berakhirnya Dinasti Shafawi
1.    Pemberontakan Sunni Afghanistan
Kejatuhan safawiyah bermula dari pemberontakan kelompok Sunni Afghanistan. Pemberian kekuasaan besar oleh Shah Ḥusein, pengganti Sulaiman dan memerintah Safawiyah mulai tahun 1694 M sampai dengan 1722 M, kepada para ulama Syi’ah yang sering memaksakan pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni memunculkan pemberontakan golongan Sunni Afganistan.
Pemberontakan bangsa Afghan tersebut muncul pertama kali pada tahun 1709 M di bawah pimpinan Mir Vays dan berhasil merebut wilayah Qandahar. Pemberontakan lainnya terjadi di Herat dan suku Ardabil Afghanistan berhasil menduduki Mashad. Mir Mahmud, yang berkuasa di Qandahar menggantikan Mir Vays, berhasil mempersatukan pasukannya dengan pasukan Ardabil. Dengan kekuatan gabungan ini, Mir Mahmud dapat merebut negri-negri Afghan dari kekuasaan Safawiyah.
Setelah posisinya di Afghan semakin kuat, Mir Mahmud dengan kekuatan gabungannya berusaha menguasai Persia. Pada tahun 1721, ia berhasil merebut Kirman. Tak lama kemudian, ia menyerang Isfahan, mengepungnya selama 6 bulan dan mendesak Shah Ḥusain untuk menyerah tanpa syarat dan pada tanggal 12 Oktober 1722M, Shah Ḥusein menyerah. Pada tanggal 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan.

2.    Nadir Khan Mengakhiri Safawiyah
Salah seorang putra Ḥusein, bernama Ṭahmaz II, berusaha merebut kembali daerah kekuasaan Safawiyah dari bangsa Afghan. Dengan dukungan penuh dari suku Qazar dari Rusia, ia memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya di kota Astarabad. Pada tahun 1726 M, Ṭahmaz bekerja sama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan.
Asyraf, yang menggantikan Mir Muhmud dan berkuasa di Isfahan, digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729 M dan Asyraf pun terbunuh dalam pertempuran itu. Dengan demikian dinasti Shafawiyah kembali berkuasa. Namun pada bulan Agustus 1732 M, Ṭahmaz II depecat oleh Nadir Khan dan diganti oleh Abbas III (anak Ṭahmaz II) yang ketika itu masih kecil. Empat tahun kemudian, tepatnya, 8 Maret 1736, Nadir Khan mengangkat dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III. Dengan demikian, berkhirlah kekuasaan dinasti Safawiyah.

C.  Faktor-faktor yang Menyebabkan Berakhirnya Dinasti Shafawi
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan berakhirnya kekuasaan kepemerintahan kerajaan Dinasti Shafawi, diantaranya:
1.      Adanya konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan Usmani. Berdirinya kerajaan Safawi yang bermadzhab Shi'ah merupakan ancaman bagi kerajaan Usmani, sehingga tidak pernah ada perdamaian antara dua kerajaan besar ini.
2.      Adanya dekadensi moral yang melanda sebagian para pemimpin Safawi.
3.      Pasukam Ghulam yang dibentuk Abbas I tidak memiliki semangat perang seperti Qilzibash yang dikarenakan pasukan tersebut tidak disiapkan secara terlatih dan tidak melalui proses pendidikan rohani.
4.      Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana.[4]

PENUTUP

KESIMPULAN
Kemunduran kerajaan Safawiyah di antaranya adalah dekadensi moral yang melanda para pemimpin kerajaan ini. Safi Mirza adalah raja yang kejam terhadap pembesar-pembesar kerajaan namun lemah menghadapi musuh. ‘Abbas II, pengganti  Safi Mirza, adalah raja yang suka minum minuman keras sehingga ia jatuh sakit dan meninggal. Demikian pula Sulaiman, pengganti ‘Abbas adalah raja yang suka minum minuman keras dan kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya. Akibatrnya, rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintahan.
Kejatuhan safawiyah bermula dari pemberontakan kelompok Sunni Afghanistan yang dipicu oleh Pemberian kekuasaan besar kepada para ulama Syi’ah yang sering memaksakan pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni. Pemberontakan yang muncul pertama kali pada tahun 1709 M dan berhasil merebut wilayah Qandahar ini terus bergerak merebut daerah-daerah Afghanistan dari kekuasan Safawi. Setelah posisinya di Afghanintan semakin kuat, kelompok pemberontak ini berusaha menguasai Persia hingga Shah Ḥusayn menyerah pada tanggal 12 Oktober 1722 M.
Kejatuhan Safawiyah yang ke dua kali karena disingkirkan oleh Nadir Khan mendorong para ulama terkemuka meninggalkan imperium dan menetap di kota-kota suci Syi’ah, Najaf dan Karbala yang berada di Irak Usmani.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan berakhirnya kekuasaan kepemerintahan kerajaan Dinasti Shafawi, diantaranya: Adanya konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan Usmani, Adanya dekadensi moral yang melanda sebagian para pemimpin Safawi, Pasukam Ghulam yang dibentuk Abbas I tidak memiliki semangat perang seperti Qilzibash yang dikarenakan pasukan tersebut tidak disiapkan secara terlatih dan tidak melalui proses pendidikan rohani, Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana.




DAFTAR PUSTAKA


Mubarok, Jaih. 2004. Sejarah Peradaban Islam. Bandung:  Pustaka Bani Quraisy.
Yatim, Badri. 2004. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.


 


[1] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, ( Bandung; Pustaka Bani Quraisy, 2004),  hal. 205
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 157
[3] Badri Yatim, hal. 156
[4] Badri Yatim, hal. 156-158

1 comment: