A.
PENDAHULUAN
Islam menganjurkan kepada umatnya untuk memiliki
jasmani yang kuat, dan salah satu caranya adalah dengan berolahraga, Tujuan
olahraga sebenarnya adalah perhatian terhadap jasad dengan melatih otot,
menguatkan jantung dan membuat badan memiliki kemampuan daya tahan tubuh yang
kuat. Seperti yang kita ketahui ada bermacam-macam olahraga yang kita kenal di
Indonesia. Salah satunya adalah Tinju atau gulat, olah raga ini dikenal kejam
dengan cara melemahkan lawan dan mengalahkannya walaupun dengan
menghancurkan sebagian jasad lawan.
Dari kontradiksi tujuan tersebut maka Islam
mengkaji hukum dari sisi kemaslahatan atau kemadhorotannya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah
pengertian olahraga tinju, catur, dan sepak bola?
2. Bagaimanakah
hukum olahraga tinju menurut islam?
3. Bagaimanakah
hukum bermain catur menurut islam?
4. Bagaimanakan
hukum bermain sepak bola menurut islam?
C. PEMBAHASAN
1.
Hukum Olahraga Tinju Menurut Islam
Olahraga tinju itu memang ada bahayanya, tetapi
tidaklah separah dengan yang dibayangkan oleh kalangan dokter kesehatan
olahraga UGM. Sementara itu manfaatnya yang begitu pula telah pula dirasakan,
baik itu petinju sendiri, promotor, sponsor maupun masyarakat pada umumnya.
Tidak sedikit petinju meroket namanya selain memperoleh keuntungan material
yang melimpah hanya dengan adu jotos di atas ring.
Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya Muhammad
Ali, Larry Holmes di negeri “Paman Sam” telah memperoleh miliaran rupiah, atau
Thomas Americo di Indonesia dapat mengantongi puluhan juta rupiah hanya dengan
adu kepala tinju. Dengan begitu, tinju telah menjadi lapangan kerja yang
mendatangkan keuntungan besar bagi petinju.
Begitu pula promotor dapat mengeruk keuntungan
material yang tidak sedikit. Sedangkan bagi kita sebagai penonton pertandingan
tinju merupakan hiburan yang sehat dan menyegarkan. Kecuali, tinju itu sering
di asumsikan sebagai salah satu sarana penyaluran bagi anak-anak nakal yang
bila dibiarkan dapat menggangu ketertiban masyarakat.
Atas alasan pertimbangan itu, dapatlah dikatakan bahwa
manfaat tinju lebih besardaripada bahayanya. Karena itu, bila dilihat dari segi
hukum islam olahraga tinju dapat disimpulkan sebagai cabang olahraga yang
hukumnya boleh. Sebab, seperti dikatakan di awal tulisan ini bahwa menurut
hukum islam segala kegiatan olahraga sosial tidak kecuali kegiatan olahraga
hukumnya boleh asalkan manfaatnya lebih banyak dibangdingkan dengan bahayanya
bagi kehidupan manusia dalam masyarakat.[1]
Menurut Masjfuk Zuhdi
(salah satu ulama dari Jatim), ada beberapa petunjuk yang perlu diperhatikan
yang mengisyaratkan keharaman olahraga ini.
Pertama, Allah SWT
melarang manusia mencampakkan dirinya ke dalam kebinasaan (QS.
Al-`Baqarah 2: 195). Manusia wajib menghindari diri dari hal-hal yang
mungkin menimbulkan celaka. Petarungan tinju adalah sesuatu yang merusak jiwa
dan akal.
Kedua, Hadits Nabi SAW
yang menyatakan bahwa orang berduel untuk saling mengalahkan, baik yang menang
ataupun yang kalah, sama-sama masuk neraka (H.R. Al- Bukhari). Ini karena
mereka sama-sama berusaha untuk mengalahkan lawannya.
Ketiga, Olahraga
tinju memang bermanfaat memupuk keberanian dan kekuatan, namun bahayanya jauh
lebih besar daripada manfaatnya. Dalam kaidah hukum Islam dirumuskan bahwa
menolak bahaya harus lebih diutamakan daripada mengambil manfaat. Karenanya,
manfaat tinju tidak pada artinya sama sekali dibandingkan mudarat yang
ditimbulkannya.
Keempat, olahraga
tinju terutama yang professional sering dijadikan ajang perjudian, tidak
sedikit orang yang terlibat dalam taruhan untuk menjagokan petinju yang mereka
kagumi. Olahraga ini menjadi pintu bagi orang-orang untuk melakukan maksiat.[2]
Menurut hemat penulis, tinju itu terutama yang
professional dilarang oleh islam berdasarkan dalil-dalil syar’i antara lain
sebagai berikut:
a.
Q.S Al-Baqarah
ayat: 195.
..........Dan belanjakanlah
(harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri
ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik.
b.
Al-Qur’an surat
Al-Baqarah ayat 30, At-Tin ayat 4, dan Al-Isra’ ayat 70 menunjukkan, bahwa
manusia itu adalah makhluk Tuhan yang tertinggi di antara semua makhluk Tuhan Lainnya, sampai ia dimulyakan
oleh Tuhan sendiri, diangkat sebagai khalifah di bumi, dan dihormati oleh para
malaikat. Oleh karena itu seyogianya manusia itu menjaga martabatnya sebagai
makhluk yang terhormat tidak rela
merendahkan dirinya seperti hewan yang mau diadu dengan bayaran agar saling
membantai lewat pertarungan tinju yang tidak manusiawi itu.
c.
Hadits Nabi
riwayat beberapa ahli hadits yang kenamaan antara antara lain Malik dan Ibnu
Majah:
لَا ضَرَ رَ وَ لَا ضِرَا رَ
.......Tidak boleh membikin mudharat pada dirinya dan
tidak boleh pula membikin mudharat pada orang lain.[3]
“Para ahli
hukum Islam mengungkapkan bahwa tindak pidana atas selain jiwa adalah setiap
perbuatan menyakiti yang mengenai jasmani (badan) seseorang yang dilakukan oleh
orang lain, dan perbuatan tersebut tidak sampai menghilangkan nyawanya”.
Berbeda dengan pembunuhan, pelukaan hanya
mengakibatkan rusak, cedera, atau hilangnya anggota badan, sedangkan si
korban masih tetap hidup, oleh karena itu apabila perbuatan tersebut termasuk
pembunuhan. Hukumnya sudah ditetapkan Syara’ yaitu:
1.
Hukuman
Qishash.
2.
Hukuman Diat.
3.
Hukuman
Kifarat.[4]
2.
Hukum Bermain Catur Menurut Islam
Tentang permainan catur ini para ahli berbeda
pendapat memandang hukumnya, antara mubah, makruh dan haram. Para ahli fiqih
yang mengharamkannya bersalan dengan beberapa Hadits Nabi SAW. Namun para
pengkritik dan penyelidikannya menolak dan membolehkannya. Hal itu karena
permainan catur mulai tumbuh pada zaman sahabat, jadi setiap hadits yang
menerangkan catur di zaman Nabi adalah Hadits-hadits lemah (dho’if)
para sahabat sendiri berbeda dalam memandang
masalah catur ini.Ibnu Umar menganggapnya sama dengan dadu, sedangkan Ali
memandangnya sama dengan judi. Pendapat Ali ini mungkin catur dibarengi dengan
judi. Sementara ada pula yang berpendapat makruh. Mereka itu adalah Ibnu ‘Abbas,
Abu Hurairah, Hisyam bin Urwah, Sa’id bin Musayyab, dan Sa’id bin Jubair.
Terlepas dari semua perbedaan pendapat itu, maka
kita kembalikan kepada kaidah fiqh “Pada dasarnya segala sesuatu adalah
boleh”. Dalam catur ini tidak ada nash sharih yang mengharamkannya.
Permainan catur melebihi permainan biasa, di dalamnnya terdapat semacam sport
otak dan mendidik berfikir, olek karena itu tidak dapat disamakan dengan dadu.
Sebab salah satu ciri permainan dadu adalah untung-untungan (spekulasi),
jadi sama dengan azlam. Sedangkan yang menjadi ciri dalam perlombaan
catur adalah kecerdasan latihan, jadi sama dengan lomba memanah.
Dengan demikian bermain catur adalah boleh (Mubah)
dengan syarat sebagai berikut:
a.
Karena bermain
catur tidak boleh menunda sholat.
b.
Tidak boleh
dicampuri perjudian
c.
Ketika bermain,
lidah harus dijaga dari omongan kotor, cabul dan omongan yang rendah.
Kalau ketiga syarat ini tidak
dipenuhi, maka bermain catur dapat dihukumi haram. Hal itu sebagaimana pendapat
Al-Syafi’i seperti dikutip Al-Maraghi dalam tafsirnya, bahea
bermain catur (/satranji) diharamkan karena melalaikan kewajiban.[5]
3.
Hukum Bermain Sepak Bola Menurut Islam
Di antara olah raga
yang digandrungi para pria adalah bermain sepakbola. Di setiap penjuru negeri,
dari kota hingga desa, menggemari olahraga yang satu ini. Dalam Islam, olahraga
sepakbola asalnya boleh. Namun tentu saja kita mesti memperhatikan aturan Islam
tentang olahraga yang satu ini.
Olahraga sepakbola
itu boleh dengan beberapa ketentuan:
a.
Tidak membuka
aurat.
Aurat pria adalah antara pusar hingga lutut. Artinya antara pusar dan lutut
tidak boleh dipandang. Lutut sendiri tidak termasuk aurat. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ مَا
تَحْتَ السُّرَّةِ إِلَى رُكْبَتِهِ مِنَ الْعَوْرَةِ
“Karena di antara pusar dan lutut adalah aurat.”
Oleh karena itu, yang ingin bermain sepakbola hendaknya tidak mengenakan
celana yang pendek sehingga kelihatan pahanya.
Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Ubaikan, ulama senior di Saudi Arabia ditanya
mengenai hukum bermain sepakbola oleh orang awam dan kapan terlarang, lalu apa
batasan pakaian yang dibolehkan. Beliau hafizhohullah menjawab,
“Bermain sepakbola itu boleh. Akan tetapi harus menutup aurat antara pusar dan
lutut, wallahu a’lam.”
b.
Bermain bola
tidak dengan taruhan.
Alasannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya
membolehkan musabaqoh (perlombaan) dengan taruhan pada perkara tertentu saja.
Perkara tersebut adalah yang dapat menegakkan islam, yaitu sebagai sarana untuk
latihan berjihad. Perlombaan dengan taruhan yang dibolehkan disebutkan dalam
hadits Abu Hurairah,
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ
“Tidak ada taruhan kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan unta, dan
pacuan kuda.”
Sebagian ulama memperluas lagi perlombaan yang dibolehkan (dengan
taruhan) yaitu perlombaan menghafal Al Qur’an, hadits dan berbagai macam ilmu
agama. Karena menghafal di sini dalam rangka menjaga langgengnya ajaran Islam
sehingga bernilai sama dengan lomba pacuan kuda atau lomba memanah.
c.
Tidak
menyia-nyiakan waktu shalat.
d.
Tujuan bermain
sepakbola adalah untuk membugarkan badan.
e.
Tidak sampai
menyia-nyiakan waktu.
f.
Jangan mudah
emosi.
D.
KESIMPULAN
Pada dasarnya hukum dalam
melakukan sebuah permainan itu adalah boleh, apabila suatu permainan
tersebut tidak
1.
mengandung unsur
perjudian.
2.
tidak menyebabkan
suatu kerugian baik diri sendiri maupun orang lain.
3.
tidak melalaikan
waktu.
4.
tidak melalaikan
kewajiban kepada Allah dan Manusia.
5.
tidak menyerupai
hewan maupun salib, dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
- Anonimus,
Olahraga: Tinju, (online) avaible: www.stittaqwa.blogspot.com, diakses pada tanggal 23 september 2013.
- Muhammad Abduh Tuasikal,
Aturan Islam dalam Olahraga Sepakbola,
(online) avaible: www.rumaysho.com,
diakses pada tanggal 24 september 2013.
-
Sudrajat, Ajat,
2008, Fiqih Aktual, Ponorogo: STAIN PO Press.
-
Tebba, Sudirman,
2003, Sosiologi Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press Indonesia.
-
Zuhdi, Majfuk,
1992, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Haji Mas Agung.
-
Zuhdi, Masjfuk,
1991, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT. Pertja.
-
Zuhdi, Masjfuk, 1997, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Toko Gunung Agung.
[1]
Sudirman Tebba, Sosiologi
Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press Indonesia, 2003).
[2] Masjfuk Zuhdi, Masail
Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1992), hal. 160-163.
[3] Masjfuk Zuhdi, Masail
Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Pertja, 1991), Hal. 159-161.
[4]
Anonimus, Olahraga: Tinju, (online) avaible: www.stittaqwa.blogspot.com, diakses pada tanggal 23 september 2013.
[5] Ajat Sudrajat, Fiqih Aktual,
(Ponorogo: STAIN PO Press, 2008), hal. 208-210.
No comments:
Post a Comment