BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sebuah negara itu sudah pasti
memerlukan komponen-komponen penting untuk membantu mensukseskan perkembangan,
kemajuan dan kesejahteraan warga negaranya. Pemerintah harus membentuk suatu
formasi yang pergunakan untuk menjalankan suatu visi dan misi dalam mencegah
terjadinya problematika yang sangat tidak diinginkan.
Adapun problematika yang sering kita
jumpai dalam negara yang sudah menjadi tradisi populer pada kalangan bawah,
menengah maupun atas yaitu terjadinya korupsi yang sangat merugikan banyak pihak
tentunya.
Setelah kita ketahui problematika
diatas, hendaknya pemerintah selalu memperhatikan kebijakan-kebijakan yang
harus diterapkan dalam memilih, mengatur dan menata para pegawai negara. Dan
harus menjunjung tinggi sistem tata kelola kepemerintahan yang baik dan bersih
demi kelancaran dalam perjalanan, pelayanaan dan penerapan program yang telah
disusun pemerintah tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
makna korupsi?
2.
Bagaimanakah
asal muasal korupsi di negara berkembang?
3.
Apakah
dampak dari korupsi?
4.
Apakah
yang dimaksud “Gerakan Anti korupsi” Upaya membangun tata kelola kepemerintahan
yang bersih (Clean Governance)?
5.
Apakah
yang dimaksud kinerja birokrasi pelayanan publik?
6.
Apa
saja faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja birokrasi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makna Korupsi
Istilah korupsi berasal dari bahasa
Latin “corruptio”, ”corruption” (Inggris), dan “corruptie” (Belanda), arti harfiahnya menunjuk pada perbuatan
yang rusak, busuk,
tidak jujur
yang dikaitkan dengan keuangan (Sudarto,1976:1). Dalam Black’s Law
Dictionary, korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan
yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak
lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak
lain (Black:1990).
Selama ini istilah korupsi mengacu pada berbagai aktivitas atau tindakan secara tersembunyi dan illegal untuk mendapatkan keuntungan demi kepentingan pribadi atau golongan. Dalam perkembangannya terdapat penekanan bahwa korupsi adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan(abuse
of power) atau kedudukan publik untuk kepentingan pribadi. Alatas mengemukakan pengertian korupsi dengaan menyebutkan benang merah
yang menjelujuri dalam aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum dibawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan,
pengkhianatan, penipuan dan kemasabodohan
yang luar biasa akan akibat-akibat
yang diterima oleh masyarakat.
Menurutnya,”corruption is the abuse of
trust in the inferesat of private gain”.[1]
B.
Asal Muasal Korupsi
Asal mula berkembangnya korupsi barangkali dapat ditemukan
sumbernya pada fenomena sistem pemerintahan monarki absolut tradisional yang
berlandaskan pada budaya feodal. Pada masa lalu, tanah-tanah di wilayah suatu
negara atau kerajaan adalah milik mutlak raja, yang kemudian diserahkan kepada
para pangeran dan bangsawan, yang ditugasi untuk memungut pajak, sewa dan upeti
dari rakyat yang menduduki tanah tersebut. Disamping membayar dalam bentuk uang
atau in natura, sering pula rakyat diharuskan membayar dengan hasil bumi serta
dengan tenaga kasar, yakni bekerja untuk memenuhi berbagai keperluan sang raja
atau penguasa. Elite penguasa yang merasa diri sebagai golongan penakluk,
secara otomatis juga merasa memiliki hak atas harta benda dan nyawa rakyat yang
ditaklukkan. Hak tersebut biasanya diterjemahkan dalam tuntutan yang berupa
upeti dan tenaga dari rakyat. (Onghokham, 1995).
Seluruh upeti yang masuk ke kantong para pembesar ini selain
dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pembesar itu sendiri, pada dasarnya juga
berfungsi sebagai pajak yang dipergunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan
negara. Hanya saja, belum ada lembaga yang secara resmi ditunjuk sebagai
pengumpul pajak, sehingga para pembesar atau pejabat tadi juga merangkap
sebagai pengumpul dana (revenue gathering). Parahnya, kedudukan dalam
pemerintahan sebagai pembesar atau pejabat ini dapat diperjual belikan
(venality of office), yang menyebabkan
pembeli jabatan tadi berusaha untuk mencari kompensasi atas uang yang telah
dikeluarkannya dengan memungut upeti sebesar-besarnya dari rakyat.
Pada masa-masa sesudahnya, kondisi ini ternyata memperkuat sistem
patron – client, bapak anak, atau kawula? gusti, dimana seorang pembesar
sebagai patron harus dapat memenuhi harapan rakyatnya, tentu saja dengan adanya
jasa-jasa timbal balik dari rakyat sebagai client-nya. Hubungan patron – client
ini merupakan salah satu sumber korupsi, sebab seorang pejabat untuk
membuktikan efektivitasnya harus selalu berbuat sesuatu tanpa menghiraukan
apakah ini untuk kepentingan umum atau kepentingan kelompok bahkan perorangan,
yakni para anak buah yang seringkali adalah saudaranya sendiri.[2]
C.
Dampak Korupsi
Nye menyatakan bahwa akibat-akibat
korupsi adalah :
1.
Pemborosan
sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya
keahlian, bantuan yang lenyap.
2.
Ketidakstabilan,
revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan
ketimpangan sosial budaya.
3.
Pengurangan
kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya
kewibawaan administrasi.
Selanjutnya Mc
Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidak
adilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara,
tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidak
stabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
Berdasarkan pendapat para ahli di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa dampak dari korupsi diatas adalah sebagai berikut :
a.
Tata
ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan,
gangguan penanaman modal.
b.
Tata
sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
c.
Tata
politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri,
hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
d.
Tata
administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya
keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan
pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.[3]
D. Tata Kelola Pemerintahan Yang Bersih (Clean
Governance) dan Gerakan Anti Korupsi
Korupsi merupakan
suatu permasalahan besar yang merusak keberhasilan pembangunan nasional menjadikan ekonomi berbahaya tinggi, politik yang tidak sehat dan moralitas yang terus menerus melorot.
Beberapa hal yang menjadiakan masalah terjadinya korupsi antara lain:
1.
Kemiskinan, kemiskinan telah menjadi sebuah mekanisme yang membuat korupsi menjadi
sesuatu yang lumrah. Korupsi dengan latar belakang kemiskinan dapat dikatakan
berasal dari kebutuhan.
2.
Kekuasaan, hal ini menjadi alasan karena kekuasaan sering membuat orang berlaku semena-mena.
3.
Budaya, Prof. Toshiko Kinoshita mengemukakan bahwa masyarakat Indonesia adalah
masyarakat dengan sistem keluarga besar atau extended family.
4.
Ketidaktahuan, hal ini menjadi alasan karena kadang dana yang diberikan sering kali
tidak diketahui peruntukannya dan karena tidak tahu, maka ketika ada masalah,
dana tersebut yang dijadikan sebagai korupsi.
5.
Rendahnya kualitas
moral masyarakat, disebabkan karena
kemiskinan dan kualitas pendidikan dari masyarakat tersebut.
6.
Lemahnya kelembagaan
politik dari suatu negara. Kelembagaan adalah
sistem hukum dan penerapannya, lembaga publik yang memang tidak dibentuk untuk
siap memberikan insentif yang wajar.
Pasal 6
UU-KPK menyebutknatugas KPK adalah :
1.
Koordinasi
dengan instasi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
2.
Supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
3.
Melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
4.
Melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
5.
Melakukan
monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Wewenang KPK dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi dinyatakan dalam pasal 7 UU-KPK
sebagai berikut:
1.
Mengoordinasikan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.
2.
Menetapkan
sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi.
3.
Meminta
informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi
lain yang terkait.
4.
Melaksanakan
dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
5.
Meminta
laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.[5]
E. Kinerja Birokrasi Pelayanan Publik
Birokrasi
berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata
“kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan
untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau
diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai:
1.
Sistem
pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang
pada hirarki dan jenjang jabatan.
2.
Cara
bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan
(adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana
birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai:
1.
Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat.
Padasebuah
dictionary politik yang dipasarkantahun 2003, h.48 dicantumkan.Birokrasiadalah :
1.
Sistem
pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang
pada hierarki dan jenjang jabatan.
2.
Cara
bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta menurut tata aturan
(adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya.
3.
Birokrasi
sering melupakan tujuan pemerintah yang sejati, karena terlalu mementingkan
cara dan bentuk. Ia menghalangi pekerjaan yang cepat serta menimbulkan semangat
menanti, menghilangkan inisiatif, terikat dalamperaturan yang jelimet dan
bergantung kepada perintah atasan, berjiwa statis dan karena itu menghambat
kemajuan.[7].
Pelayanan umum atau publik adalah
pemberian jasa baik oleh pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah ataupun
swasta kepada masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan
dan atau kepentingan masyarakat.
Ada beberapa alasan sebagaimana dikemukakan oleh Agus Dwiyanto, mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan dan penerapan Good Governance di Indonesia, yaitu :
1.
Pelayanan publik selama
ini menjadi ranah (area) dimana negara yang diwakili pemerintah berinteraksi
dengan lembaga non pemerintah.
2.
Pelayanan publik adalah
ranah dimana berbagai aspek Good Governance dapat diartikan dengan mudah.
3.
Pelayanan publik
melibatkan kepantingan semua unsur Governance yaitu pemerintah masyarakat dan
mekanisme pasar.
Tujuan
pembentukan organisasi publik atau birokrasi yaitu untuk memenuhi kebutuhan dan
melindungi kepentingan dan pelayanan publik, maka kinerja birokrasi tersebut
dinyatakan berhasil apabila mampu mewujudkan tujuannya yang dimaksud.
Kinerja birokrasi adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat percapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan elemen-elemen indikator sebagai berikut :
1.
Indikator masukan
(imputs) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar birokrasi mampu
menghasilkan produknya baik barang atau jasa yang meliputi SDM informasi,
kebijakan.
2.
Indikator proses yaitu
sesuatu yang berkaitan dengan proses pekerjaan berkaitan dengan kesesuaian
antara perencanaan dengan pelaksanaan yang diharapkan langsung dicapai dari
suatu kegiatan yang berupa fisik ataupun non fisik.
3.
Indikator keluaran
yaitu sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa
fisik ataupun non fisik.
4.
Indikator hasil adalah
segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka
menengah (efek langsung).
5.
Indikator manfaat
adalah segala sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan
kegiatan.
6.
Indikator dampak yaitu
pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif pada setiap tingkatan
indikator.
F. Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Birokrasi
Faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja birokrasi antara lain:
1.
Manajement organisasi
dalam menerjemahkan dan menyelaraskan tujuan birokrasi.
2.
Budaya kerja dan
organisasi pada birokrasi.
3.
Kualitas sumber daya
manusia yang dimiliki birokrasi.
4.
Kepemimpinan birokrasi
yang efektif.
5.
Koordinasi kerja pada
birokrasi.[8]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Makna
korupsi adalah perbuatan dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu badan yang langsung maupun tidak langsung merugikan keuangan
negara atau daerah.
2.
Asal
mula berkembangnya korupsi barangkali dapat ditemukan sumbernya pada fenomena
sistem pemerintahan monarki absolut tradisional yang berlandaskan pada budaya
feodal.
3.
Dampak
Korupsi
Nye menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi adalah :
1.
Pemborosan
sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya
keahlian, bantuan yang lenyap.
2.
Ketidakstabilan,
revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan
ketimpangan sosial budaya.
3.
Pengurangan
kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya
kewibawaan administrasi.
4.
Korupsi merupakan suatu permasalahan besar yang merusak keberhasilan pembangunan
nasional menjadikan ekonomi berbahaya tinggi, politik yang tidak sehat dan
moralitas yang terus menerus melorot.
5.
Birokrasi
berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata
“kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan
untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau
diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi.
6.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi kinerja birokrasi antara lain:
a. Manajement organisasi dalam menerjemahkan dan menyelaraskan tujuan
birokrasi.
b. Budaya kerja dan organisasi pada birokrasi.
c. Kualitas sumber daya manusia yang dimiliki birokrasi.
d. Kepemimpinan birokrasi yang efektif.
e.
Koordinasi kerja pada
birokrasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, dan Syarif Fadillah. 2007. Tindak Pidana Korupsi.
Jakarta: PT. Radika Aditama.
Feisal, Tamin. 2004. Reformasi birokrasi. Jakarta: Penerbit Belantika.
Putro, Endri,http://endriputro.wordpress.com/2009/09/24/ruang-lingkup-korupsi-di-negara-berkembang/,“Ruang Lingkup Korupsi Di Negara Berkembang”, 4 Desember 2012.
Riza, Aditya, http://rizaaditya.com/pengertian-birokrasi.html,Pengertian Birokrasi, 28
Oktober 2012.
Saleh, Wantjik. 1978. Tindak Pidana Korupsi Di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.
[1] Syaiful Ahmad
Dinar Cherudin, Syarif Fadillah, Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: PT. Radika Aditama, 2007), hal. 1-2.
[2]http://endriputro.wordpress.com/2009/09/24/ruang-lingkup-korupsi-di-negara-berkembang/
[3]Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978), hal. 03.
[4]http://good-and-clean-governance.html.
[7]Tamin
Feisal, Reformasi birokrasi, (Jakarta, Penerbit belantika, 2004), hal. 78.
[8]http://good-and-clean-governance.html.
No comments:
Post a Comment