PEMBAHASAN
IDEOLOGI
PENDIDIKAN ISLAM ALIRAN KONSERVATIF
DAN
ALIRAN
RASIONAL
A.
ALIRAN
KONSERVATIF (AL-MUHAFIDZ)
Menurut Mahmud Arif, aliran konservatif adalah aliran pendidikan
yang mempunyai kecenderungan keagaan yang sangat kuat, bahkan bisa menimbulkan
implikasi sebagai berikut:
1.
Memaknai
ilmu hanya terbatas pada pengetahuan tentang Tuhan. Tujuan pengetahuan adalah
pengenalan Tuhan dan pemahaman terhadap perintah dan larangan-Nya.
2.
Memprioritaskan
jenis pengetahuan yang diyakini bisa menunjang keluhuran moral dan kebahagiaan
di akhirat.
3.
Menganggap
ilmu hanya untuk ilmu.[1]
Menurut Jawwad Ridla, aliran konservatif adalah aliran pendidikan
yang cenderung bersikap murni keagamaan. Mereka memaknai ilmu dengan pengertian
sempit, yakni hanya mencakup ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang yang
jelas-jelas membawa manfaat kelak di akhirat.[2]
Dari pengertian di atas dapat disimpulkanbahwa aliran konservtif
adalah aliranpendidikan yang cenderung memakni pendidikan sebagai sarana untuk
membudidayakan nilai-nilai keagamaan yang bersifatketuhanan dan mencakup
ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang serta bermanfaat untuk kebahagiaan di
akhirat.
Tokoh-tokoh aliran pendidikan ini adalah al-Ghazali, Nasirudin
al-Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu Hajar al-Hitami, dan al-Qabisi. Menurut
aliran ini, ilmu diklasifikasikan menjadi 2 ragam, yaitu: Pertama, Ilmu
yang wajib dipelajari setiap individu, seperti ilmu keagamaan. Kedua, Ilmu
yang wajib kifayah untuk dipelajari, seperti ilmu kedokteran.
Al-Thusi menganalogikan jenis ilmu pertama dengan makanan pokok,
sedangkan jenis ilmu kedua dianalogikan dengan obat yang hanya dimakan sewaktu
terpaksa.[3]
Hal senada juga diungkapkan oleh salah seorang pakar hadits, Ibnu al-Barr yang
mengklasifikasikan ragam ilmu menjadi tiga kelompok, yaitu atas, tengah, dan
bawah. Kelompok atas meliputi ilmu-ilmu keagamaan, kelompok tengan mencakup
ilmu dunia, kelompok bawah terdiri dari ilmu-ilmu keterampilan.[4]
Jadi menurut aliran ini, keagamaan sangat penting dan dibutuhkan
bagi mereka dibandingkan jenis ilmu lain. Bagi mereka jenis ilmu lain hanya
merupakan pelengkap saja, karena jenis ilmu ilmu ini apabila sebagian warga
mayarakat telah mempelajarinya, maka gugur kewajiban bagi warga yang lain untuk
mempelajarinya.
Selain dua jenis ilmu di atas, da juga ilmu yang mempelajarinya
termasuk fadhillah (keutamaan anjuran). Oleh Al-Ghozali jenis ilmu ini dibagi
menjadi empat, diantaranya:
1.
Ilmu
ukur dan ilmu hitung.
2.
Ilmu
mantik (logika)
3.
Ilmu
ketuhanan (teologi), yaitu ilmu yang berisi tentang Dzat Tuhan.
4.
Ilmu
Kealaman.
Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan, yakni pengetahuan
tentang jalan menuju akhirat hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan rasio
dan kejernihan akal budi. Rasio adalah sifat manusia yang paling utama, karena
hanya dengan rasiolah manusia mampu menerima amanat dari Allah dan dengannya
pula mampu mendekat disisi-Nya.[5]
Esensi pendidikan aliran konservatif menurut Jawwad Ridla adalah
pendidikan akhlak, yaitu pendidikan yang beriorientasi pada keluhuran moral,
dan tujuan terpenting dalam pendidikan islam adalah pembentukan dan pembinaan
akhlak. Sedangkan tujuan pendidikan islma menurut Omar Muhammad Attoumy
Asy-Syaibani, tujuan pendidikan islam memiliki empat ciri pokok, yaitu:
1.
Sifat
yang bercorak agama dan akhlak.
2.
Sifat
penyeluruhannya yang mencakup segala aspek pribadi pelajar, dan semua aspek
perkembangan dalam masyarakat.
3.
Sifat
keseimbangan, kejelasan, tidak adanya pertentangan antara unsur-unsur dan cara
pelaksanaannya.
4.
Sifat
realistik dan dapat dilaksanakan, penekanan pada perubahan yang dikehendaki
pada tingkah laku dan kehidupan, memperhitungkan perbedaan-perbedaan
perseorangan diantara individu, masyarakat, kebudayaan dan kesanggupannya untuk
berubah dan berkembang bila diperlukan.[6]
Pendidikan agama pada dasarnya memiliki dua tujuan yang diharapkan
dicapai oleh peserta didik, yaitu meningkatkan keberagamaan peserta didik dan
mengembangkan sikap toleransi hidup umat beragama.[7]
Dari tujuan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan-tujuan
pendidikan menurut aliran konservatif adalam pembentukan dan pembinaan akhlak
individu.
B.
ALIRAN RASIONAL
Tidak jauh berbeda pemikiran aliran rasional dengan pemikiran
konservatif dalam hal relasi pendidikan dengan tujuan agamawi.[8]
Dalam pandangan aliran rasional konsep pendidikannya lebih menekankan pada
pewarisan budaya. Sedangkan menurut aliran rasional, pendidikan dipahami
sebagai usaha mengaktualisasikan ragam daya/potensi yang dimiliki individu,
sehingga esensi pendidikan adalah kiat transformasi ragam potensi menjadi
kemampuan aktual. Keberhasilan usaha mentransformasikan ragam potensi yang ada
sangat ditentukan oleh seberapa besar optimalisasi fungsi rasio, sebab rasio
itulah yang bisa menjadikan seseorang mempunyai pengetahuan realitas
disekelilingnya dan dapat menuntunnya untuk sampai pada pengetahuan atau
pemahamn kebenaran (ma’rifah).[9]
Selain akal (rasio) berfungsi untuk mengetahui sesuatu, juga berfungsi untuk
memutuskan terhadap salah-benar atau baik-buruknya sesuatu. Oleh karena itu,
menurut aliran ini, manusia dipandang memiliki kebebasan penuh sehingga bisa
bertanggung jawab terhadap setiap perbuatannya.[10]
Diantara tokoh-tokoh aliran rasional adalah kelompok Al-Shafa,
Al-Farabi, Ibnu Shina, dan Ibnu Maskawaih. Para tokoh ini telah memberikan
landasan bagi aliran pendidikannya, yakni bahwa pangkal segala sesuatu yang
terkait dengan jiwa (diri) beserta semua potensinya, serupa dengan apa yang
diutarakan oleh kecenrerungan Gnostik. Mereka juga membangun prinsip-prinsip dasar
pemikirann tentang manusia, pengetahuan dan pendidikan.[11]
Ikhwan Al-Shafa merumuskan ilmu sebagai gambaran tentang sesuatu
yyang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Lawan dari ilmu adalah
kebodohan. Belajar dan mengajar adalah mengaktualisasikan hal-hal potensial,
melahirkan hal-hal yang terpendam dalam jiwa. Aktivitas itu bagi guru dinamakan
mengajar dan bagi pelajar dinamakan belajar.[12]
Ikhwan Al-Shafa membagi ragam disiplin ilmu menjadi tiga.[13]
diantaranya:
1.
Ilmu-ilmu
syari’iyah (keagamaan)
a.
Ilmu
tanzil (ilmu Qur’an hadits)
b.
Ilmu
ta’wil (ilmu penafsiran)
c.
Ilmu
penyampaian informasi keagamaan (akhbar)
d.
Ilmu
pengkajian sunnah dan hukum
e.
Ilmu
ceramah keagamaan, kezuhudan, dan ilmu ta’bir mimpi.
2.
Ilmu-ilmu
filsafat
a.
Riyadliyyat
(ilmu-ilmu eskak)
b.
Mantiqiyyat
(retorika-logika). Ilmu ini dibgi menjadi lima, diantaranya:
1)
Antologi : Pengetahuan
tentang sya’ir.
2)
Retorika : Keahlian para
orator dalam berderdebat dan diskusi.
3)
Esagogy : Pengantar menuju
keaahlian berlogika-krisis.
4)
Phatygorbas-pharamenyas : Karya aristoteles sebagai pengantar bagi
bukunya burhan.
5)
Al-Burhan : Buku para filosof
yang dijadikan acuan pemilihan salah-benar.
3.
Ilmu
Kealaman (Fisika). Oleh Ikhwan Al-Shafa dikelompokkan menjadi tujuh,
diantaranya:
a)
Ilmu
tentang dasar-dasar fisik-biologis.
b)
Ilmu
tentang ruang dan benda angkasa.
c)
Ilmu
tentang penciptaan alam dan kerusakan.
d)
Iklimatologi.
e)
Ilmu
pertambangan.
f)
Ilmu
batomi.
g)
Ilmu
hewan.
4.
Teologi.
Dibagi menjadi lima kelompok, diantaranya:
a)
Pengetahuan
tentang Allah, sifat ke-Esaaan-Nya.
b)
Pengetahuan
tentang hal-hal immaterial.
c)
Pengetahuan
kejiwaan.
d)
Pengetahuan
politik.
e)
Eksatologi.
5.
Ilmu-ilmu
Riyadliyah. Ilmu ini dibagi menjaadi 9 disiplin ilmu, diantaranya:
a)
Aritmatika
(ilmu hitung).
b)
Al-Handasah
(ilmu ukur).
c)
Astronomi.
d)
Ilmu
musik (seni).
Pendidikan oleh aliran rasio dipahami sebagai sosialisasi dalam
arti bahwa aktivitas pendidikan senantiasa berlangsung dalam konteks sosial.
Pendidikan selalu berkaitan dengan nilai dan norma sosial dan beriorientasi
pada tuntunan sosial. Aktivitas pendidikan dituntut harus mampu menjlin
hubungan yang sinergis dengan perubahan dan perkembangan sosial budaya,
sehingga bisa memperoleh akuntabilitas dan relevansi fungsionaldi tengah
masyarakat.
Pemikiran kependidikan aliran nrasional khususnya sebagaimana
dirumuskan oleh kelompok Ikhwan Al-Shafa, memang dapat dinilai sebagai
rekontruksi sosial. Kelompok ini telah mengarahkan pada upaya-upaya pencerahan
masyarakat dengan berbagai wawasan dan kesadaran baru, agar masing-masing warga
masyarakat mampu memahami hak dan kewajibannya.
Menurut pandangan Ikhwan Al-Shafa, aktivitas pendidikan tidak cukup
sekedar berkutat pada lingkup pembinaan moral personal, tetapi juga harus
bertumpu pada pembinaan moral sosial. Dengan moral sosial, benih tumbuhnya
kesadaran bersama yang mendasari solidaritas soaial dan pergerakan sangat
mungkin untuk disemai-mekarkan.[14]
Dari
paaran di atas, dapat dilihat bahwa aliran konservatif dalam hal pendidikan
lebih menekankan pada pewarisan budaya diarahkan untuk melestarikan dan
mengembangkan ilmu ttradisional. Sedangkan aliran rasional lebih menekankan
pada implementasi potensi yang dimiliki oleh peserta didik yang semuanya itu
dapat ditentukan oleh bagaimana seorang peserta didik dapat menggunakan akalnya
dengan baik. Karena dengan akal lah seseorang dapat memahami tentang sesuatu
pengetahuan, kebenaran dan juga dapat mengetahui baik-buruknya sesuatu.
[1] Mahmud
Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara,
2008), hal. 108-110.
[2] Ibid...,
hal. 110-111.
[3] Muhammad
Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif
Sosiologi-Filosofis (Ypgyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), hal. 74-75.
[4] Ibid...,
hal. 76.
[5] Ibid...,
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, hal. 114.
[6] Ibid...,
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, hal. 79-80.
[7] Erwin
Yudi Prahara, Materi Pendidikan Agama Islam (Ponorogo: STAIN Po Press,
2009), hal. 13.
[8] Ibid...,
Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam:
Perspektif Sosiologi-Filosofi, hal. 77.
[9] Ibid...,
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, hal. 114.
[10] Ibid...,hal.
120.
[11] Ibid...,
Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam:
Perspektif Sosiologi-Filosofi, hal. 79.
[12] Ibid...,hal.
78.
[14] Ibid...,
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, hal.121-122.
No comments:
Post a Comment