Sunday 9 March 2014

KEDUDUKAN-KEDUDUKAN HADITS DALAM AL-QUR'AN DAN HUKUM ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Ilmu Hadits merupakan disiplin ilmu yang sangat penting, karena tanpa ilmu hadits maka mustahil hadits bisa dipelajari dan dikaji dengan benar sesuai dengan metodologinya. Dari fungsi terhadap hadits, dapat diibaratkan bagaikan ilmu tafsir terhadap Al-Qur’an. Pemahaman Al-Qur’an tanpa menggunakan ilmu tafsir akan sulit untuk dilakukan. Demikian juga ilmu hadits terhadap hadits.
Makalah ini berisi kajian yang membahas kedudukannya hadits dalam Al-Qur’an dan sumber hukum islam, sehingga makalah ini dapat dijadikan sebagai penambah wawasan ilmu pengetahuan tentang Ulumul hadits.

B.  Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian Hadits Menurut Bahasa dan Istilah?
2.    Apa kedudukan hadits dalam Al-Qur’an?
3.    Apa kedudukan hadits dalam sumber hukum islam?





BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Hadits
Secara Etimologi, Hadith adalah kata benda (isim) dari kata al-tahdis yang berati pembicaraan. Kata hadith mempunya beberapa arti, yaitu:
a.         Jadid” (baru), sebagai lawan dari kata “qadim” (terdahulu). Dalam hal ini yang dimaksud jadid adalah hadith Nabi Saw.
b.         Qarib”, yang berarti dekat atau dalam waktu dekat belum lama.
c.         Khabar”, yang berarti warta berita yaitu sesuatu yang dipecakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang. Allah pun, memakai hadith dengan arti khabar, dalam firman-Nya:   
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Quran itu jika mereka orang-orang yang benar (QS. At-Thur: 34).[1]
Sedangkan pengertian hadith secara terminologi, maka terjadi perbedaan perbedaan pendapat antara ahli hadith dengan ahli ushul. Ulama ahli hadith ada yang memberikan pengertian hadith secara terbatas (sempit) dan ada yang memberikan pengertian secara luas. Pengertian hadith secara terbatas diantaranya sebagaimana diberikan oleh Mahmud al-Tahhan adalah:
“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik perkataan atau perbuatan persetujuan atau sifat.
Sedangkan pengertian hadith secara luas sebagaimana yang diberikan oleh sebagian ulama seperti Al-Tibbi berpendapat bahwa hadith itu tidak hanya meliputi sabda Nabi, perbuatan dan taqrir beliau (hadith marfu’), juga meliputi sabda Nabi, perbuatan dan taqrir para sahabat (hadith mauquf), serta dari tabi’in (hadith maqtu’).
Sedangkan menurut ahli ushul, hadith adalah:
Segala perkataan, segala perbuatan dan segala taqrir Nabi Saw yang bersangkut paut dengan hukum”.[2]

B.       Kedudukan Hadits dalam Al-Qur’an.
Menurut Sayyid Rasyid Ridha, Nabi menjelaskan kandungan Al-Qur’an dengan perkataan dan perbuatan. Penjelasan itu berupa tafshil, takhshish, taqyid, tetapi tidak pernah membatalkan informasi dan hukum yang terkandung dalam Al-qur’an. Maka Al-Sunnah tidak menasakh Al-Qur’an. Dengan demikian kedudukan Al-Sunnah terhadap Al-Qur’an adalah:
1.    Memberi bayan (penjelasan/rincian) kandungan Al-Qur’an yang mujmal.
Al-Qur’an memerintahkan orang islam sholat tetapi tidak menjelaskan waktu-waktunya dan bilangan raka’atnya. Penjelasan tersebut ditemukan dalam catatan-catatan sunnah rasul yang memuat perintah “sholatlah kamu seperti aku sholat!”.
2.    Takhshis (pengecualian) terhadap aam dalam Al-qur’an. Terdapat banyak ayat Al-Qur’an yang dalam ilmu fiqih  disebut aam. Firman Allah:
“Diajarkan kepadamu bahwa warisan anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan”, firman ini termasuk aam. Artinya, dalam keadaan bagaimanapun bagian warisan tersebut satu berbanding dua. Kemudian terdapat Al-Sunnah yang mentakhsis (mengecualikannya), kecuali ahli waris yang membunuh terwaris, atau berbeda agama.
3.    Taqyid (pembatasan) terhadap kemutlakkan Al-qur’an. Kata “tangan” dalam ayat “pencuri pria dan wanita hendaklah kamu potong tangan mereka” adalah muthlaq. Yang disebut tangan adalah sejak jari-jari sampai dengan pangkal lengan. Kemudian Al-Sunnah membatasi potong tangan itu pada pergelangan, bukan pada siku atau pangkal lengan.
4.    Apa yang terkandung dalam Al-Sunnah menguatkan kandungan Al-Qur’an. Seperti sunnah-sunnah yang isinya mewajibkan  sholat, haji, puasa, zakat, menguatkan kandungan Al-Qur’an dalam maksud yang sama.
5.    Di dalam Al-Sunnah terdapat ketentuan agama yang tidak diatur dalam Al-Qur’an. Artinya, Nabi ditugasi menjelaskan kandungan Al-Qur’an, dalam hal-hal tertentu membuat ketetapan khusus sebagai wujud penjelasan hal yang tidak tertuang ekplisit dalam Al-Qur’an.[3]

C.      Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum.
Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hukum, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalil naqli, maupun aqli, sebagai berikut:
a.    Dalil Al-Qur’an.  
Artinya:
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam Keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara Rasul-rasul-Nya. karena itu berimanlah kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, Maka bagimu pahala yang besar” (QS. Ali Imran: 179).
Dalam surat Ali-Imran di atas, Allah memisahkan antara orang Mu’min dengan orang yang munafik. Dia juga akan memperbaiki keadaan orang mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itu, orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.[4]
b.    Dalil Al-Hadits
Dalam salah satu pesan Rasulullah Saw, berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamannya:
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian selalu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Hakim).
Hadits diatas menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadits atau menjadikan hadits, sebagai pegangan dan pedoman hidup adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Al-Qur’an.[5]
c.    Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Umat islam telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah satu dasar hukum dalam amal perbuatan karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Penerimaan hadits sama seperti penerimaan mereka terhadap Al-Qur’an, karena keduanya sama-sama sumber hukum islam.
Kesepakatan Umat Muslimin dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan sejak masa Rasulullah, sepeninggal beliau, masa Khulafa Ar-Rasyidin hingga masa selanjutnya dan tidak ada yang mengingkari-Nya. Banyak diantara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungannya, tetapi menyebar luaskannya kepada generasi-generasi selanjutnya.
Peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum islam, yaitu dalam peristiwa ketika Abu Bakar dibaiat menjadi Khalifah, ia pernah berkata, “Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.[6]
d.   Sesuai dengan petunjuk akal (Ijtihad).
Kerasulan Nabi Muhammad Saw, telah diakui dan dibenarkan oleh umat islam. Di dalam mengemban misinya itu kadang kala beliau menyampaikan apa yang diterimanya dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun juga, tidak jarang bila beliau menawarkan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu, hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada nash yang menasakhkan.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran islam  yang menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila dilihat dari segi kehujjahan (bukti, alasan), hadits melahirkan hukum zhanni, kecuali hadits yang Mutawattir.[7]



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.             Secara Etimologi, Hadith adalah kata benda (isim) dari kata al-tahdis yang berati pembicaraan. Kata hadith mempunya beberapa arti, yaitu: “Jadid” (baru), sebagai lawan dari kata “qadim” (terdahulu). Dalam hal ini yang dimaksud jadid adalah hadith Nabi Saw. “Qarib”, yang berarti dekat, “Khabar”, yang berarti warta berita. Sedangkan secara terminologi terjadi perbedaan perbedaan pendapat antara ahli hadith dengan ahli ushul. Ulama ahli hadith ada yang memberikan pengertian hadith secara terbatas (sempit) dan secara luas. Pengertian hadith secara terbatas “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik perkataan atau perbuatan persetujuan atau sifat. Sedangkan secara luas sebagaimana yang diberikan oleh sebagian ulama seperti al-Tibbi, bahwa hadith tidak hanya meliputi sabda Nabi, perbuatan dan taqrir beliau (hadith marfu’), Juga meliputi sabda Nabi, perbuatan dan taqrir para sahabat (hadith mauquf), serta tabi’in (hadith maqtu’). Sedangkan menurut ahli ushul, hadith adalah: “Segala perkataan, segala perbuatan dan segala taqrir Nabi Saw yang bersangkut paut dengan hukum”.
2.             Kedudukan hadits dalam Al-Qur’an adalah memberi bayan, takhshis, taqyid, menguatkan kandungan Al-Qur’an, dan mengatur ketentuan agama yang tidak diatur dalam Al-Qur’an
3.             Kedudukan Hadits sebagai sumber hukum islam dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalil naqli, maupun aqli yaitu dari dalil Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Ijtihad.



DAFTAR PUSTAKA

-      

At-Tahhan, Mahmud, tth, Taysir Mustalah al-Hadith, Bierut: Dar Al-Thaqafah Al-Islamiyah.
-       Mudasir, 1999, Ilmu Hadits, Bandung: Pustaka Setia.
-       Rofiah, Kusniati, 2010, Studi Ilmu Hadits, Ponorogo: STAIN PO Press.
-       Zuhri, Muh, 2003, Hadits Nabi “Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.



[1] Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, (Ponorogo, STAIN PO Press, 2010), 2.
[2] Mahmud at-Tahhan, Taysir Mustalah al-Hadith, (Bierut: Dar al-Thaqafah al-Islamiyah, tth), 15-16.
[3] Muh Zuhri, Hadits Nabi “Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003) , 23-25.

[4] Mudasir, Ilmu Hadits,(Bandung: Pustaka Setia, 1999), 66.
[5] Ibid, 71.
[6] Ibid, 73.
[7] Ibid, 74.

No comments:

Post a Comment