Sunday, 9 March 2014

ALIRAN JABARIYAH DAN ALIRAN QODARIYAH BESERTA DOKTRIN-DOKTRINNYA



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar belakang
                   Kalam merupakan perkataan yang membicarakan perkataan tentang Allah. Dalam hal ini banyak terjadi perbedaan – perbedaan dikalangan masyarakat yang mana itu terjadi setelah Nabi wafat. Disini ada beberapa aliran yang mana mereka mempunyai landasan masing – masing baik masalah tauhid, hukum fiqih maupun tasawuf.
                   Pada zaman yang serba modern terjadi perpecahan antar umat yang beragama islam pada hakekatnya itu sangat disenangi bagi kaum agama lain. Oleh karena itu, mari kita belajar memahami kalam yang sebenarnya dan menyesuaikan dengan ketentuan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

B.       Rumusan masalah
1.         Bagaimana aliran dari Jabariyah dan doktrin – doktrin dari Jabariyah?
2.         Bagaimana aliran dari Qodariyah dan doktrin – doktrin dari Qodariyah?








BAB II
PEMBAHASAN


A.      Aliran Jabariyah
1.    Pengertian
            Kata Jabariyah berasal dari kata Jabara yang berarti memaksa. Di dalam al-munjid, dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata Jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu. Kata Jabara (bentuk pertama) setelah ditarik menjadi Jabariyah (dengan menambah ya’ nisbah), memiliki suatu kelompok atau aliran (isme). Dalam bahasa inggris Jabariyah disebut fatalisme atau predestination yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semua oleh qadla dan qadar Allah.[1]
2.    Asal usul munculnya aliran Jabariyah.
            Faham Jabariyah pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham, kemudian desebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari khurasan. Dalam sejarah teologi islam, Jahm tercatan sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Namun dalam perkembangan al-Jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya Al-Husaini bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa bangsa Arab yang didukung oleh gurun pasir sahara yang memberikan pengaruh besar kedalam  pengaruh hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam sahara yang panas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
            Sebenarnya benih faham al-Jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini:
a.    Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan.
b.    Khalifah Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri” mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan.
c.    Khalifah Ali bin Abi Thalib seusai perang shiffin ditanya oleh seorang tua tentang qadar (ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa.
d.   Pada pemerintahan Daulah Bani Umayyah, pandang tentang al-Jabar semakin mencuat ke permukaan.
          Paparan diatas menjelaskan bahwa bibit faham al-Jabar telah muncul sejak awal periode islam. Namun, al-Jabar sebagai suatu pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru berkembang pada masa Daulah Bani Umayyah, yakni oleh kedua tokoh yang disebutkan diatas.
          Berkaitan dengan munculnya aliran Jabariyah, ada yang mengatakan bahwa munculnya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran, yaitu pengaruh agama Yahudi bermadzhab Qurra dan agama Kristen bermadzhab  Yacobit. Namun tanpa pengaruh asing itu, faham al-Jabar akan muncul juga dikalangan umat Islam.[2]
3.    Para pemuka Jabariyah dan Doktrin-doktrinnya.
            Menurut Asy-Syahrastani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Di antara doktrin Jabariyahekstrim adalah pendapatnya adalah bahwa “segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri”. Tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya.
1)        Jahm bin Shafwan
            Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di khufah. Pendapat Jahm tentang pendapat teologi adalah sebagai berikut:
a)        Manusia tidak mampu berbuat apa-apa.
b)        Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
c)        Iman adalah ma’rifat dan membenarkan dalam hati.
d)       Kalam tuhan adalah makhluk.
            Dengan demikian, dala beberapa hal,pendapat Jahm hampir sama dengan Murji’ah dan Asy’ariyah.
2)        Ja’d bin Dirham
            Al-Ja’d bin Dirham seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar dilingkungan pemerintah Bani Umayyah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayyah menolak.[3]
               Doktrin pokok Ja’d secara umum sama pikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskan sebagai berikut:
a)        Al-Qur’an itu adalah makhluk.
b)        Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk.
c)        Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
            Berbeda dengan Jabariyah Ekstrim, Jabariyah Moderat, manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya.
            Yang termasuk tokoh Jabariyah Moderat adalah sebagai berikut:
1)        An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Di antara pendapatnya adalah:
a)        Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
b)        Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat.
2)        Adh-Dhirar
Nama lengkap adalah Dhirar bib Amr. Pendapatnya sama dengan Husain An-Najjar, yakni manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam mewujudkan perbuatan dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya.[4]
4.    Systema Jabariyah
            Allah sajalah yang memberikan vonis yaitu menentukan dan meneruskan segala amal manusia, dimana amal itu berlaku dengan qudrat dan iradat-Nya.
            Qudrat dan Iradat-Nya merupakan koelkast yang membekukan memblokeer dan mengkonstanteer semua kekuasaan manusia, dimana  pada hakikatnya semua amal manusia merupakan paksaan atau Ijbar dari Allah SWT.
            Pemberian surga atau pembalasan neraka kepada manusia bukan merupakan ganjaran atau balasan atas pelaksanaan kebaikan yang diawamirkan atau keburukan yang dinawahikan Allah SWT akan tetapi keduannya adalah sebagai hujjah.[5]

B.       Aliran Qodariyah
1.    Pengertian
            Qodariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata Qadara yang artinya kemampuan dan  kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, Qodariyah adalah aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Dalam hal ini Harun Nasution menegaskan kaum Qodariyah berasal dari pengertian bahwa manusia punya qadrah dan kekuatan untuk melaksanakan kehendak dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
            Seharusnya, faham Qodariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat.
2.    Asal-usul munculnya Qodariyah dan tokoh-tokohnya.
            Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qodariyah Ad-Dimasyqy. Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Adapun Ghailani adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Ustman bin Affan.
            Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-‘Uyun seperti diikuti Ahmad Amin memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham Qodariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen ini.
            Sementara itu, W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1993. Artikel ini menjelaskan bahwa faham Qodariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar tahun 700 M.
            Faham Qodariyah mendapat tantang keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras ini. Pertama, seperti pendapat Harun Nasution karena masyatakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kedua, tantangan dari pemerintah ketika itu. Tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat pemerintah menganut faham Jabariyah. Dan kemungkinan juga pejabat pemerintah menganggap gerakan faham Qodariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat.
3.    Doktrin-doktrin Qodariyah.
            Dalam kitab Al-Milal Wa An-Nihal pembahasan masalah Qodariyah disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas, karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.
            Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang doktrin Qodariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya.[6]
            Dari beberapa penjelasan di atas, dapat difahami bahwa doktrin Qodariyah yang pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri.
            Faham takdir dalam pandangan Qodariyah bukanlah dalam pengertian takdir  yang umum dipakai bangsa Arab ketika itu, yaitu yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam faham Qodariyah, takdir itu adalah ketentuan yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah Sunnatullah.
4.    System Qodariyah.
Manusia harus bebas merdeka menentukan nasibnya sendiri. Memilih amal yang baik atau yang buruk. Kalau Allah SWT itu adil mestinya beliau memberi pahala orang yang beramal baik dan menghukum orang yang berbuat salah atau buruk.
            Kalau Allah SWT telah menentukan semua nasib manusia sebelumnya, itu berarti Allah SWT dzalim.
            Oleh karena faham atau pendapat seperti itu berarti penentang terhadap keutamaan Allah dan menganggap Allah SWT sebagai sebab kejahatan-kejahatan amal manusia, sedangkan Allah SWT mustahil melakukan kejahatan. Jadi, baik atau buruk adalah atas usaha manusia itu sendiri.





BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan.
Paham yang menyebutkan bahwa semua perbuatan manusia telah ditentukan oleh qadha dan qadar Allah SWT. Qodariyah adalah aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.






DAFTAR PUSTAKA


Anwar, Rosihan. 2008. Akidah Akhlak. Bandung: Pustaka Setia.
Miftakhudin. 2008. Ilmu Kalam. Ponorogo: Madrasah Aliyah Darul Huda.

Umary, Burmawie. 1995. Materi Akhlak. Solo: Ramadani.


[1] Rosihon Anwar, Akidah Akhlak (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 52-53.
[2]Miftakhudin, Ilmu Kalam (Ponorogo: Madrasah Aliyah Darul Huda Kelas XI, 2008), 74.
[3] Ibid, 76.
[4] Ibid, 77.
[5] Umary Burmawie, Materi Akhlak (Solo: Ramadani: 1995).
[6] Ibid

No comments:

Post a Comment