Tuesday 31 May 2016

Kajian Teori Tentang ASWAJA



A.      ASWAJA
1.      Pengertian
Secara bahasa ada 3 kata untuk mengetahui ta’rif (definisi) Ahl Sunnah wa al-Jama’ah.
Pertama, Kata Ahl, dapat berarti pemeluk aliran atau pengikut madhab. Untuk arti tersebut, Kata Ahl berfungsi sebagai badal nisbah, karena diakitkan dengan kata al-Sunnah yang berarti orang-orang yang berpaham sunni (al-sunniyyun).
Kedua, kata al-Sunnah di samping memiliki arti al-hadith (ucapan cerita), ia juga bersinonim dengan kata al-sirah (sejarah) dan al-Tariqah (jalan, cara, metode), al-tabi’in (kebiasaan), dan al-shari’ah (shariat). Dari situ, maka al-sunnah kemudian bisa diartikan sebagai jalan nabi dan para sahabat (generasi shalaf al-shalih).
Ketiga, kata al-jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan.[1]
Secara Istilah, Ahl Sunnah wa al-Jama’ah ini memang tidak ditemukan definisi terminologisnya yang baku, baik ketika bermakna aliran keagamaan atau paham politik. Definisi yang sering kali digunakan adalah “pengikut jalan yang ditempuh oleh nabi dan para shabatnya”. [2]
Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari dan Muhammad bin Ibrahim al-Hamad (2006: 291) dalam bukunya mengemukakan pendapat bahwa Ahl Sunnah wa al-Jama’ah adalah orang-orang yang menjalani sesuatu seperti yang dijalani oleh Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya. Mereka adalah orang yang berpegng teguh pada Sunnah Nabi SAW yaitu para sahabat, para tabi’in, dan para imam petunjuk yang mengikuti jejak mereka. Mereka adalah orang-orang yang istiqomh dalam mengikuti sunnah dan menjauhi bid’ah, dimana saja dan kapan saja. Mereka tetap ada dan mendapatkan pertolongan sampai hari kiamat.[3]
2.      Dasar-Dasar Aqidah Ahl Sunnah wa al-Jama’ah
Adapun dasar-dasar aqidah Ahl Sunnah wa al-Jama’ah, Yaitu: berdasarkan Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ Ulama’ dan Akal.

3.      Metodologi Pemikiran (Manhajul Fikr) ASWAJA
Jika kita mencermati doktrin-doktrin paham ASWAJA, baik dalam akidah (iman), syai’at (islam), ataupun akhlak (ihsan) maka kita dapati sebuah metodologi pemikiran (manhaj alfikr) yang ditengah dan moderat (tawassuth), berimbang atau harmoni (tawazun), netral atau adil (ta’adul), dan toleran (tasamuh). Metodologi pemikiran ASWAJA senantiasa menghindari sikap-sikap tatharruf (ekstrim), baik ekstrim kanan atau kiri. Inilah yang menjadi esensi identitas untuk mencirikan paham ASWAJA dengan sekte-sekte islam lainnya. Dan dari prinsip metodologi pemikiran seperti inilah ASWAJA membangun keimanan, sikap, perilaku dan gerakan.[4]
a.        Tawasuth (Moderat)
Tawasuth ialah sebuah sikap tengah atau moderat tidak cenderung ke kanan atau ke kiri. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat ini sangat urgen menjadi semangat mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah (terbaik). Sikap ini didasarkan firman Allah SWT:
Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (Q.S Al-Baqarah: 143)
b.        Tawazun (Berimbang)
Tawazun adalah sifat berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-dalil (pijakan hukum) atau pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan sebuah keputusan dan kebijakan. Dalam konteks pemikiran dan amaliah keagamaan, prinsip tawazun menghindarin sikap ekstrim (tatharuf) yang serba kanan sehingga melahirkan fundamentalisme dan menghindari sikap ekstrim yang serba kiri melahirkan liberalisme dalam pengamalan ajaran agama. Sikap tawazun ini didasarkan pada firman Allah SWT:
Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (Q.S Al-Hadiid: 25)
c.         Ta’addul (Netral dan Adil)
Ta’addul ialah sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi, dan menyelesaikan segala permassalahan. Adil tidak selamanya berarti sama atau setara (tamadsul) adil adalah sikap proporsional berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing. Kalaupun keadilan menuntut adanya kesamaan atau kesetaraan, hal itu hanya berlaku ketika  realitas individu benar-benar sama dan sama secara persis dalam segala sifatnya. Apabila dalam realitasnya terjadi tafadhul (keunggulan), maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlil). Penyetaraan antara dua hal yang jelas tafadlul, ialah tindakan aniaya yang bertentangan dengan asas keadilan itu sediri. Sikap ta’addul ini berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Q.S Al-Maidah: 8)
d.        Tasamuh (Toleran)
Tasamuh ialah sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan perbedaan dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran, sosial kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi-budaya, dan lain sebagainya. Toleransi dalam konteks agama dan keyakinan bukn berarti kompromi akidah. Bukan berarti mengakui kebenaran keyakinan dan kebatilan kepercayaan orang lain toleransi agama juga bukan berarti mengakui kesesatan dan kebathilan sebagai sesuatu yang haq dan benar. Yang salah dan sesat tetap harus diyakini sebagai kesalahan dan kesesatan. Dan yang haq dan benar harus tetap diyakini sebagai kebenaran yang haq. Dalam kaitannya dengan toleransi agama, Allah SWT berfirman[5]: 
Artinya: untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (Q.S Al-Kafirun: 6)
Ada pula ayat lain yang berkaitan dengan toleransi agama, yaitu Q.S Al-Imran ayat: 85.
Artinya: Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi. (Q.S Al-Imran: 85)









[1] Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy'ari tentang ahl al-sunnah wa al-jama'ah, Surabaya: Khalista, 2010), hal. 32
[2] Ibid,...hal. 33.
[3] Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari dan Muhammad bin Ibrahim al-Hamad, Ringkasan Keyakinan Islam (Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah), (Surabaya: Pustaka Elba, 2006), hal. 291.
[4] Nur Sayyid Santoso Kristeva. S. Pd.I,. MA, Manifesto Wacana Kiri, Membentuk olidaritas Organik, (................, .................), hal. 124.
[5] Nur Sayyid Santoso Kristeva. S. Pd.I,. MA, Manifesto Wacana Kiri, Membentuk olidaritas Organik, (................, .................), hal. 124-125

No comments:

Post a Comment