A.
ASWAJA
1.
Pengertian
Secara bahasa ada 3 kata
untuk mengetahui ta’rif (definisi) Ahl Sunnah wa al-Jama’ah.
Pertama, Kata Ahl, dapat berarti pemeluk aliran atau pengikut madhab. Untuk
arti tersebut, Kata Ahl berfungsi sebagai badal nisbah, karena
diakitkan dengan kata al-Sunnah yang berarti orang-orang yang berpaham sunni
(al-sunniyyun).
Kedua, kata al-Sunnah di samping memiliki arti al-hadith (ucapan
cerita), ia juga bersinonim dengan kata al-sirah (sejarah) dan al-Tariqah
(jalan, cara, metode), al-tabi’in (kebiasaan), dan al-shari’ah
(shariat). Dari situ, maka al-sunnah kemudian bisa diartikan sebagai jalan nabi
dan para sahabat (generasi shalaf al-shalih).
Ketiga, kata al-jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan.[1]
Secara Istilah, Ahl
Sunnah wa al-Jama’ah ini memang tidak ditemukan definisi terminologisnya
yang baku, baik ketika bermakna aliran keagamaan atau paham politik. Definisi
yang sering kali digunakan adalah “pengikut jalan yang ditempuh oleh nabi dan
para shabatnya”. [2]
Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari dan Muhammad bin
Ibrahim al-Hamad (2006: 291) dalam bukunya mengemukakan pendapat bahwa Ahl Sunnah wa al-Jama’ah adalah
orang-orang yang menjalani sesuatu seperti yang dijalani oleh Nabi SAW dan
sahabat-sahabatnya. Mereka adalah orang yang berpegng teguh pada Sunnah Nabi
SAW yaitu para sahabat, para tabi’in, dan para imam petunjuk yang mengikuti
jejak mereka. Mereka adalah orang-orang yang istiqomh dalam mengikuti sunnah
dan menjauhi bid’ah, dimana saja dan kapan saja. Mereka tetap ada dan
mendapatkan pertolongan sampai hari kiamat.[3]
2. Dasar-Dasar Aqidah Ahl Sunnah wa al-Jama’ah
Adapun dasar-dasar aqidah Ahl Sunnah wa al-Jama’ah, Yaitu:
berdasarkan Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ Ulama’ dan Akal.
3.
Metodologi Pemikiran (Manhajul Fikr) ASWAJA
Jika kita mencermati
doktrin-doktrin paham ASWAJA, baik dalam akidah (iman), syai’at (islam),
ataupun akhlak (ihsan) maka kita dapati sebuah metodologi pemikiran (manhaj
alfikr) yang ditengah dan moderat (tawassuth), berimbang atau
harmoni (tawazun), netral atau adil (ta’adul), dan toleran (tasamuh).
Metodologi pemikiran ASWAJA senantiasa menghindari sikap-sikap tatharruf
(ekstrim), baik ekstrim kanan atau kiri. Inilah yang menjadi esensi identitas
untuk mencirikan paham ASWAJA dengan sekte-sekte islam lainnya. Dan dari
prinsip metodologi pemikiran seperti inilah ASWAJA membangun keimanan, sikap,
perilaku dan gerakan.[4]
a.
Tawasuth (Moderat)
Tawasuth ialah sebuah sikap tengah atau moderat tidak cenderung
ke kanan atau ke kiri. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat
ini sangat urgen menjadi semangat mengakomodir beragam kepentingan dan
perselisihan, lalu berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah
(terbaik). Sikap ini didasarkan firman Allah SWT:
Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu
(umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu. (Q.S Al-Baqarah: 143)
b.
Tawazun (Berimbang)
Tawazun adalah sifat berimbang dan harmonis dalam
mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-dalil (pijakan hukum) atau
pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan sebuah keputusan dan kebijakan.
Dalam konteks pemikiran dan amaliah keagamaan, prinsip tawazun menghindarin
sikap ekstrim (tatharuf) yang serba kanan sehingga melahirkan
fundamentalisme dan menghindari sikap ekstrim yang serba kiri melahirkan
liberalisme dalam pengamalan ajaran agama. Sikap tawazun ini didasarkan
pada firman Allah SWT:
Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan
neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (Q.S Al-Hadiid: 25)
c.
Ta’addul (Netral dan Adil)
Ta’addul ialah sikap adil dan netral dalam melihat,
menimbang, menyikapi, dan menyelesaikan segala permassalahan. Adil tidak
selamanya berarti sama atau setara (tamadsul) adil adalah sikap
proporsional berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing. Kalaupun keadilan
menuntut adanya kesamaan atau kesetaraan, hal itu hanya berlaku ketika realitas individu benar-benar sama dan sama
secara persis dalam segala sifatnya. Apabila dalam realitasnya terjadi tafadhul
(keunggulan), maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlil).
Penyetaraan antara dua hal yang jelas tafadlul, ialah tindakan aniaya
yang bertentangan dengan asas keadilan itu sediri. Sikap ta’addul ini
berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Q.S Al-Maidah: 8)
d.
Tasamuh (Toleran)
Tasamuh ialah sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan
perbedaan dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran, sosial kemasyarakatan,
suku, bangsa, agama, tradisi-budaya, dan lain sebagainya. Toleransi dalam
konteks agama dan keyakinan bukn berarti kompromi akidah. Bukan berarti
mengakui kebenaran keyakinan dan kebatilan kepercayaan orang lain toleransi
agama juga bukan berarti mengakui kesesatan dan kebathilan sebagai sesuatu yang
haq dan benar. Yang salah dan sesat tetap harus diyakini sebagai kesalahan dan
kesesatan. Dan yang haq dan benar harus tetap diyakini sebagai kebenaran yang
haq. Dalam kaitannya dengan toleransi agama, Allah SWT berfirman[5]:
Artinya: untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (Q.S
Al-Kafirun: 6)
Ada pula ayat lain yang berkaitan dengan toleransi agama, yaitu Q.S Al-Imran ayat: 85.
Artinya: Barangsiapa mencari agama selain agama Islam,
Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan Dia di
akhirat Termasuk orang-orang yang rugi. (Q.S Al-Imran:
85)
[1] Achmad Muhibbin
Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy'ari tentang ahl al-sunnah wa al-jama'ah, Surabaya:
Khalista, 2010), hal. 32
[3] Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari dan Muhammad
bin Ibrahim al-Hamad, Ringkasan
Keyakinan Islam (Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah), (Surabaya: Pustaka Elba, 2006), hal. 291.
[4] Nur Sayyid Santoso Kristeva. S. Pd.I,. MA, Manifesto
Wacana Kiri, Membentuk olidaritas Organik, (................,
.................), hal. 124.
[5] Nur Sayyid Santoso Kristeva. S. Pd.I,. MA, Manifesto
Wacana Kiri, Membentuk olidaritas Organik, (................,
.................), hal. 124-125
No comments:
Post a Comment