Monday 16 March 2015

Memahami Hukum Islam Perundang-undangan, Ketentuan serta Pengeloalaan Tentang Zakat, Haji dan Wakaf.



PEMBAHASAN


A.       Memahami Hukum Islam Tentang Zakat, Haji Dan Wakaf
1.      Zakat
a.    Pengertian
Zakat adalah kata bahasa Arab “az-zakâh”. Ia adalah masdar dari fi’il madli zakkâ”, yang berarti bertambah, tumbuh dan berkembang. Ia juga bermakna suci. Dengan makna ini, Allah beriman dalam Q.S As-Syams ayat 9:  
Artinya: “Sungguh beruntung orang yang menyucikan hati”. (Q.S As-Syams: 9)
Harta ini disebut zakat karena sisa harta yang telah dikeluarkan dapat berkembang lantaran barakah doa orang-orang yang menerimanya. Juga karena harta yang dikeluarkan adalah kotoran yang akan membersihkan harta seluruhnya dari syubhat dan menyucikannya dari hak-hak orang lain di dalamnya. Zakat menurut istilah (syara’) artinya sesuatu yang hukumnya wajib diberikan dari sekumpulan harta benda tertentu, menurut sifat dan ukuran tertentu kepada golongan tertentu yang berhak menerimanya. Hukum mengeluarkan zakat adalah fardhu ‘ain.

b.    Perundang-undangan tentang zakat
Dalam rangka meningkatkan kualitas umat islam Indonesia, pemerintah telah membuat peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan zakat, yaitu Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang ini merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999.[1]

c.    Contoh pengelolaan zakat

                          Berdasarkan undang-undang tersebut, maka zakat harus dikelola oleh negara melalui  suatu badan yang diberi nama Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ). Badan dan Lembaga tersebut pada saat ini telah terbentuk kepengurusannya, mulai dari tingkat pusat sampai ketingkat daerah sampai tingkat desa. Oleh sebab itu, kaum muslimin yang berkewajiban membayar zakat hendaknya dapat menitipkannya melalui badan atau lembaga zakat yang ada di daerahnya masing-masing.
Contohnya setiap tahun kita mengeluarkan zakat fittrah. Zakat fitrah sebagiannya kita titipkan kepada Unit Pengumpul Zakat (UPZ) tingkat desa. Oleh UPZ desa, disampaikan kepada BAZ Kecamatan, kemudian disampaikan ke BAZ Kabupaten. Oleh BAZ Kabupaten, kemudian dana zakat tersebut didistribusikan kepada para mustahiq yang sangat membutuhkan dana atau digunakan untuk kegiatan produktif yang sangat menyerap banyak tenaga kerja, misalnya membantu para pengusaha kecil dan menengah. Dengan demikian, dana zakat dapat dikelola dengan baik dan tepat sasaran sesuai dengan fungsi dan tujuan.

d.    Penerapan ketentuan perundang-undangan tentang zakat.
Dalam undang-undang Zakat tersebut terdapat kewajiban membayar zakat bagi orang yang telah memenuhi persyaratan tertentu. Orang-orang tersebut dinamai muzakki (pemberi zakat). Begitu pula, terdapat hak-hak bagi mereka yang memenuhi persyaratan tersebut untuk menerimanya. Mereka itu disebut mustahiq (penerima zakat). Baik muzakki maupun mustahiq, semua terikat oleh peraturan perundang-undangan tentang zakat tersebut. Artinya, jika ada salah satu pihak yang melanggar ketentuan dalam undang-undang harus dikenai sanksi dan hukuman sesuai peraturan yang tercantum dalam undang-undang  tersebut.
Badan Amil Zakat (BAZ) juga memiliki keterikatan yang sama dengan undang-undang tersebut. Maksudnya, jika amilin melakukan pelanggaran atas ketentuan undang-undang, maka baginya harus dikenai sanksi dan hukuman. Dalam hal penerapan perundang undangan zakat ini, peran amilin atau Badan Amil Zakat lebih dominan dan lebih urgen bagi keberhasilan pelaksanaan undang-undang. Sebab jika ada muzakki yang enggan membayar zakat, pengurus Badan Amil Zakat berkewajiban mengingatkannya dengan penuh Kesabaran dan keikhlasan. Begitu pula, jika ada orang/pihak yang berpura-pura menjadi mustahiq padahal dia memiliki kemampuan yang cukup, maka pengurus BAZ harus menegurnya dan berhak menolak atau mencabut dana zakat yang telah diberikannya.[2]

              2.      Haji
a.    Pengertian
Haji berasal dari kata hajja yang artinya berziarah ke, bermaksud, menyengaja, menuju ke tempat tertentu yang diagungkan. Sedangkan menurut istilah haji adalah menyengaja mengunjungi Ka’bah untuk mengerjakan ibadah yang meliputi thawaf, sa’i, wuquf dan ibadah-ibadah lainnya untuk memenuhi perintah Allah SWT. dan mengharap keridlaan-Nya dalam waktu yang telah ditentukan.
Mengerjakan ibadah haji hukumnya wajib ’ain, sekali seumur hidup bagi setiap muslim yang telah mukallaf dan mampu melaksanakannya. Firman Allah dalam Q.S Al-Imran ayat 97:
Artinya: ”Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah , yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. (Q.S Ali-Imram: 97).[3]

b.   Perundang-undangan tentang Haji
Dari tahun ke tahun minat masyarakat Indonesia untuk menunaikan ibadah haji semakin meningkat. Pemerintah sebagai penanggung jawab penyelenggaraan ibadah haji senantiasa berupaya dengan sungguh-sungguh menyempurnakan dan meningkatkan pelayanannya. Kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Keputusan Menteri Agama Nomor 224 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.[4]

c.    Contoh Pengelolaan Haji
Dewasa ini pergi ke tanah suci dan menunaikan ibadah haji relatif singkat dan mudah. Dulu, ketika alat transportasi masih terbatas hanya kapal laut, untuk pergi menunaikan ibadah haji (dari Indonesia) membutuhkan waktu berbulan-bulan dengan perjalanan berat pula.
Dengan perkembangan zaman yang semakin modern dan ditambah dengan tersedianya alat-alat transportasi yang mutakhir, menunaikan ibadah haji menjadi lebih mudah. Apalagi semenjak pemerintah Indonesia turun tangan secara resmi dengan mendirikan lembaga khusus yang menangani urusan-urusan yang menyangkut penyelenggaraan ibadah haji. Bukan itu saja. Perkembangan lebih lanjut banyak pula lembaga-lembaga swasta yang menyelenggarakan pelayanan-pelayanan untuk ibadah haji dengan fasilitas khusus.

d.   Beberapa ketentuan tentang pengelolaan Ibadah Haji dalam UU No 17 Tahun 1999.
1)         Penyelenggaraan Ibadah Haji
Penyelenggaraan ibadah haji adalah rangkaian kegiatan meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan pelaksanaan ibadah haji (Pasal 1). Koordinasi atas penyelenggaraan ibadah haji ada di bawah tanggung jawab pemerintah (Pasal 6-8). Pada tingkatan pusat di bawah tanggung jawab menteri agama, ditingkat daerah di bawah gubernur.
2)         Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Dana Abadi Umat.
Besarnya jumlah ongkos penyelenggaraan ibadah haji ditetapkan oleh presiden atas usul menteri setelah mendapatkan persetujuan DPR RI (Pasal 9). Dana abadi umat adalah sejumlah dana yang diperoleh dari efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji dan sumber lain. Dana ini dikelola untuk kemaslahatan umat, sehingga pemerintah membentuk badan pengelolaannya.
3)         Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dan Umrah.
Untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, pemerintah juga menyelenggarakan pelayanan ibadah haji khusus sesuai dengan ketentuan (Pasal 23-24).
Ibadah umrah dapat dilaksanakan secara perorangan atau rombongan. Perjalanan umrah bisa diurus sendiri atau diurus oleh penyelenggara tertentu (Pasal 25-26).[5]

              3.      Wakaf
a.    Pengertian
Wakaf menurut bahasa berarti “menahan” sedangkan menurut istilah wakaf yaitu memberikan suatu benda atau harta yang dapat diambil manfaatnya untuk digunakan bagi kepentingan masyarakat menuju keridhaan Allah SWT. Hukum wakaf adalah sunnah, hal ini didasarkan pada Al-Qur’an. Firman Allah SWT dalam Q.S Al-Imran ayat 92:


Artinya: “Tidak akan tercapai olehmu suatu kebaikan sebelum kamu sanggup membelanjakan sebagian harta yang kamu sayangi”.(QS. Ali Imran: 92).[6]
b.   Perundang-undangan tentang Wakaf
Indonesia telah memiliki undang-undang tentang wakaf, yakni UU No. 41 Tahun 2004 yang terdiri dari 11 bab dan 71 pasal.

c.    Ketentuan-Ketentuan Wakaf
1)    Wakaf Zurri
Merupakan wakaf yang dikhususkan oleh waqif (pemberi wakaf) kepada kerabat seperti anak, saudara, cucu, atau ibu bapaknya. Tujuannya untuk membela nasib kerabatnya. Wakaf ini disebut juga wakaf ahli (ahli berarti keluarga).
Islam menganjurkan bila seseorang hendak mewakafkan sebagian harta sebaiknya melihat dahulu kepada sanak dan familinya.
2)   Wakaf Khairi
Merupakan wakaf yang diperuntukkan untuk kebaikan secara umum. Wakaf ini pernah dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab pada tanah yang diperoleh beliau di Khaibar. Walaupun manfaat barang dapat dimiliki oleh umum, tetapi barang yang sudah menjadi wakaf  jenis ini tidak boleh dimiliki siapapun, sebab barang tersebut telah menjadi hak Allah.

d.   Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf.
Yang mempunyai tugas untuk mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf adalah nazir, sesuai dengan prinsip syariah dan secara produktif. Nazir tidak boleh melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia.
Nazir dapat diberhentikan dan diganti apabila meninggal dunia (bagi nazir perseorangan), bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (bagi nazir organisasi dan badan hukum), tidak melaksanakan tugasnya atau melanggar ketentuan, dan dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Yang berhak untuk memberhentikan nazir adalah Badan Wakaf Indonesia.[7]






KESIMPULAN



Dalam rangka melayani kesejahteraan umat islam di Indonesia, baik dalam hal penyelenggaraan, peningkatan mutu, maupun kelangsungan aktivitas peribadatan, maka pemerintah telah membuat perundang-undang Republik Indonesia yang meliputi: peraturan, ketentuan maupun pengelolaan tentang pelaksanaan ibadah zakat, haji, dan wakaf, agar kegiatan peribadatan tersebut dapat berjalan dengan lancar dan dikelola dengan sebaik-baiknya.


 




DAFTAR PUSTAKA


Kementrian Agama Republik Indonesia. “Buku Guru, FIKIH” Madrasah Aliyah kelas X. Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2014.
Siswanto, joko. “Infak, zakat, haji, wakaf dan pengelolaannya”. http://jokosiswanto77.blogspot.com/2010/06/infak-zakat-haji-wakaf-dan.html. diakses 13 Maret 2015.


[1] Kementrian Agama Republik Indonesia, “Buku Guru, FIKIH” Madrasah Aliyah kelas X,(Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2014), hal.45-46.
[2] Siswanto, joko. “Infak, zakat, haji, wakaf dan pengelolaannya”. http://jokosiswanto77.blogspot.com/2010/06/infak-zakat-haji-wakaf-dan.html. diakses 13 Maret 2015.
[3] Kementrian Agama Republik Indonesia, “Buku Guru, FIKIH” Madrasah Aliyah kelas X,(Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2014), hal. 57-58.
[4] Ibid, hal. 61.
[5] Siswanto, joko. “Infak, zakat, haji, wakaf dan pengelolaannya”. http://jokosiswanto77.blogspot.com/2010/06/infak-zakat-haji-wakaf-dan.html. diakses 13 Maret 2015.
[6] Kementrian Agama Republik Indonesia, “Buku Guru, FIKIH” Madrasah Aliyah kelas X,(Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2014), hal. 129.
[7] Siswanto, joko. “Infak, zakat, haji, wakaf dan pengelolaannya”. http://jokosiswanto77.blogspot.com/2010/06/infak-zakat-haji-wakaf-dan.html. diakses 13 Maret 2015.

2 comments:

  1. suwun mas tapi tulisane diperjelas ora usah eneng werno putih marai loro moto trus tulisan "semoga bermanfaat" diilangi wae kui marai sing moco risih motone trus ra iso fokus

    ReplyDelete
  2. Hatur nuwun kritik nd sarannya..... maaf atas kekurangan dalam blog ini...

    ReplyDelete