PEMBAHASAN
A. Memahami Hukum Islam Tentang Zakat, Haji Dan Wakaf
1. Zakat
a. Pengertian
Zakat adalah kata bahasa Arab “az-zakâh”. Ia
adalah masdar dari fi’il madli “zakkâ”, yang berarti bertambah, tumbuh dan berkembang.
Ia juga bermakna suci.
Dengan makna ini,
Allah beriman dalam Q.S As-Syams ayat 9:
Artinya: “Sungguh beruntung orang yang menyucikan
hati”. (Q.S As-Syams: 9)
Harta ini disebut zakat karena sisa harta yang telah
dikeluarkan dapat berkembang lantaran
barakah doa orang-orang yang menerimanya. Juga karena harta yang dikeluarkan adalah kotoran yang akan membersihkan harta
seluruhnya dari syubhat
dan menyucikannya dari hak-hak orang lain di dalamnya. Zakat menurut istilah (syara’) artinya sesuatu yang hukumnya
wajib diberikan dari
sekumpulan harta benda tertentu, menurut sifat dan ukuran tertentu kepada golongan tertentu yang berhak menerimanya. Hukum mengeluarkan
zakat adalah fardhu ‘ain.
b. Perundang-undangan tentang zakat
Dalam rangka meningkatkan kualitas umat islam
Indonesia, pemerintah telah membuat
peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan zakat, yaitu Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang ini merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999.[1]
c. Contoh pengelolaan
zakat
Berdasarkan undang-undang tersebut, maka zakat harus
dikelola oleh negara melalui suatu badan yang diberi nama Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ). Badan dan Lembaga tersebut pada saat
ini telah terbentuk kepengurusannya,
mulai dari tingkat pusat sampai ketingkat daerah sampai tingkat desa. Oleh sebab itu, kaum muslimin yang berkewajiban
membayar zakat hendaknya dapat
menitipkannya melalui badan atau lembaga zakat yang ada di daerahnya masing-masing.
Contohnya setiap tahun kita mengeluarkan zakat fittrah. Zakat fitrah sebagiannya kita titipkan kepada Unit Pengumpul Zakat (UPZ) tingkat desa. Oleh UPZ desa, disampaikan kepada BAZ Kecamatan,
kemudian disampaikan ke BAZ Kabupaten. Oleh BAZ Kabupaten, kemudian dana
zakat tersebut didistribusikan kepada para mustahiq yang sangat
membutuhkan dana atau
digunakan untuk kegiatan produktif yang sangat menyerap banyak tenaga kerja, misalnya membantu para pengusaha kecil dan menengah.
Dengan demikian, dana
zakat dapat dikelola dengan baik dan tepat sasaran sesuai dengan fungsi dan tujuan.
d.
Penerapan ketentuan perundang-undangan
tentang zakat.
Dalam undang-undang Zakat tersebut terdapat kewajiban membayar zakat
bagi orang yang telah memenuhi persyaratan tertentu. Orang-orang tersebut
dinamai muzakki (pemberi zakat). Begitu pula, terdapat hak-hak
bagi mereka
yang memenuhi persyaratan tersebut untuk menerimanya. Mereka itu disebut mustahiq
(penerima zakat). Baik muzakki maupun mustahiq, semua terikat oleh
peraturan perundang-undangan tentang zakat tersebut. Artinya, jika ada salah
satu pihak yang melanggar ketentuan dalam undang-undang harus dikenai sanksi
dan hukuman sesuai peraturan yang tercantum dalam undang-undang tersebut.
Badan Amil Zakat (BAZ) juga memiliki keterikatan yang sama
dengan undang-undang
tersebut. Maksudnya, jika amilin melakukan pelanggaran atas ketentuan undang-undang,
maka baginya harus dikenai sanksi dan hukuman. Dalam hal
penerapan perundang undangan zakat ini, peran amilin atau Badan Amil Zakat lebih
dominan dan lebih urgen bagi keberhasilan pelaksanaan undang-undang. Sebab jika
ada muzakki yang enggan membayar zakat, pengurus Badan Amil Zakat berkewajiban
mengingatkannya dengan penuh Kesabaran dan keikhlasan. Begitu pula,
jika ada orang/pihak yang berpura-pura menjadi mustahiq padahal dia memiliki
kemampuan yang cukup, maka pengurus BAZ harus menegurnya dan berhak
menolak atau mencabut dana zakat yang telah diberikannya.[2]
2. Haji
a. Pengertian
Haji
berasal dari kata “hajja” yang artinya berziarah ke, bermaksud,
menyengaja, menuju ke tempat tertentu yang diagungkan. Sedangkan menurut
istilah haji adalah menyengaja mengunjungi Ka’bah untuk
mengerjakan ibadah yang meliputi thawaf, sa’i, wuquf dan ibadah-ibadah lainnya
untuk memenuhi perintah Allah SWT. dan mengharap keridlaan-Nya dalam waktu yang
telah ditentukan.
Mengerjakan ibadah haji hukumnya wajib ’ain, sekali seumur hidup
bagi setiap
muslim yang telah mukallaf dan mampu melaksanakannya. Firman Allah dalam Q.S Al-Imran ayat 97:
Artinya: ”Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah , yaitu
(bagi) orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. (Q.S
Ali-Imram: 97).[3]
b. Perundang-undangan tentang Haji
Dari tahun ke tahun minat masyarakat Indonesia untuk menunaikan
ibadah haji semakin meningkat. Pemerintah sebagai penanggung jawab
penyelenggaraan ibadah haji senantiasa berupaya dengan sungguh-sungguh menyempurnakan
dan meningkatkan
pelayanannya. Kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 17 tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Keputusan Menteri Agama Nomor 224
tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.[4]
c. Contoh
Pengelolaan Haji
Dewasa ini pergi ke
tanah suci dan menunaikan ibadah haji relatif singkat dan mudah. Dulu, ketika
alat transportasi masih terbatas hanya kapal laut, untuk pergi menunaikan
ibadah haji (dari Indonesia) membutuhkan waktu berbulan-bulan dengan perjalanan
berat pula.
Dengan perkembangan zaman yang semakin modern dan ditambah dengan
tersedianya alat-alat transportasi yang mutakhir, menunaikan ibadah haji
menjadi lebih mudah. Apalagi semenjak pemerintah Indonesia turun tangan secara
resmi dengan mendirikan lembaga khusus yang menangani urusan-urusan yang
menyangkut penyelenggaraan ibadah haji. Bukan itu saja. Perkembangan lebih
lanjut banyak pula lembaga-lembaga swasta yang menyelenggarakan
pelayanan-pelayanan untuk ibadah haji dengan fasilitas khusus.
d. Beberapa ketentuan
tentang pengelolaan Ibadah Haji
dalam UU No 17 Tahun 1999.
1)
Penyelenggaraan
Ibadah Haji
Penyelenggaraan
ibadah haji adalah rangkaian kegiatan meliputi pembinaan, pelayanan, dan
perlindungan pelaksanaan ibadah haji (Pasal 1). Koordinasi atas penyelenggaraan
ibadah haji ada di bawah tanggung jawab pemerintah (Pasal 6-8). Pada tingkatan
pusat di bawah tanggung jawab menteri agama, ditingkat daerah di bawah gubernur.
2)
Biaya
Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Dana Abadi Umat.
Besarnya jumlah
ongkos penyelenggaraan ibadah haji ditetapkan oleh presiden atas usul menteri
setelah mendapatkan persetujuan DPR RI (Pasal 9). Dana abadi umat
adalah sejumlah dana yang diperoleh dari efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah
haji dan sumber lain. Dana ini dikelola untuk kemaslahatan umat, sehingga pemerintah
membentuk badan pengelolaannya.
3)
Penyelenggaraan
Ibadah Haji Khusus dan Umrah.
Untuk
meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, pemerintah juga
menyelenggarakan pelayanan ibadah haji khusus sesuai dengan ketentuan (Pasal
23-24).
Ibadah umrah
dapat dilaksanakan secara perorangan atau rombongan. Perjalanan umrah bisa
diurus sendiri atau diurus oleh penyelenggara tertentu (Pasal 25-26).[5]
3. Wakaf
a. Pengertian
Wakaf menurut bahasa berarti “menahan”
sedangkan menurut istilah wakaf yaitu memberikan suatu benda atau harta yang dapat diambil manfaatnya
untuk digunakan bagi kepentingan masyarakat menuju keridhaan
Allah SWT. Hukum wakaf adalah sunnah, hal
ini didasarkan pada Al-Qur’an. Firman Allah SWT dalam Q.S Al-Imran ayat 92:
Artinya: “Tidak akan tercapai olehmu suatu
kebaikan sebelum kamu sanggup membelanjakan
sebagian harta yang kamu sayangi”.(QS. Ali Imran: 92).[6]
b. Perundang-undangan
tentang Wakaf
Indonesia telah
memiliki undang-undang tentang wakaf, yakni UU No. 41 Tahun 2004 yang terdiri
dari 11 bab dan 71 pasal.
c. Ketentuan-Ketentuan Wakaf
1)
Wakaf Zurri
Merupakan wakaf
yang dikhususkan oleh waqif (pemberi wakaf) kepada kerabat seperti anak,
saudara, cucu, atau ibu bapaknya. Tujuannya untuk membela nasib kerabatnya.
Wakaf ini disebut juga wakaf ahli (ahli berarti keluarga).
Islam menganjurkan bila seseorang hendak mewakafkan sebagian harta sebaiknya
melihat dahulu kepada sanak dan familinya.
2) Wakaf Khairi
Merupakan wakaf
yang diperuntukkan untuk kebaikan secara umum. Wakaf ini pernah dilakukan oleh
sahabat Umar bin Khattab pada tanah yang diperoleh beliau di Khaibar. Walaupun
manfaat barang dapat dimiliki oleh umum, tetapi barang yang sudah menjadi wakaf
jenis ini tidak boleh dimiliki siapapun, sebab barang tersebut
telah menjadi hak Allah.
d. Pengelolaan dan Pengembangan Harta
Benda Wakaf.
Yang mempunyai
tugas untuk mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf adalah nazir,
sesuai dengan prinsip syariah dan secara produktif. Nazir tidak boleh melakukan
perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas izin tertulis dari
Badan Wakaf Indonesia.
Nazir dapat
diberhentikan dan diganti apabila meninggal dunia (bagi nazir perseorangan),
bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
(bagi nazir organisasi dan badan hukum), tidak melaksanakan tugasnya atau
melanggar ketentuan, dan dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan dan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Yang berhak untuk memberhentikan nazir adalah
Badan Wakaf Indonesia.[7]
KESIMPULAN
Dalam rangka melayani kesejahteraan umat islam di Indonesia, baik dalam hal penyelenggaraan, peningkatan
mutu, maupun kelangsungan aktivitas peribadatan, maka pemerintah telah membuat perundang-undang Republik Indonesia yang meliputi: peraturan,
ketentuan maupun pengelolaan
tentang pelaksanaan ibadah
zakat, haji, dan wakaf, agar kegiatan peribadatan tersebut dapat berjalan
dengan lancar dan dikelola dengan sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Agama Republik Indonesia. “Buku
Guru, FIKIH” Madrasah Aliyah kelas X. Jakarta: Kementrian Agama Republik
Indonesia, 2014.
Siswanto, joko. “Infak, zakat, haji,
wakaf dan pengelolaannya”. http://jokosiswanto77.blogspot.com/2010/06/infak-zakat-haji-wakaf-dan.html. diakses 13 Maret 2015.
[1] Kementrian Agama Republik
Indonesia, “Buku Guru, FIKIH” Madrasah Aliyah kelas X,(Jakarta:
Kementrian Agama Republik Indonesia, 2014), hal.45-46.
[2] Siswanto, joko. “Infak, zakat, haji, wakaf dan
pengelolaannya”. http://jokosiswanto77.blogspot.com/2010/06/infak-zakat-haji-wakaf-dan.html. diakses 13 Maret 2015.
[3] Kementrian Agama Republik
Indonesia, “Buku Guru, FIKIH” Madrasah Aliyah kelas X,(Jakarta:
Kementrian Agama Republik Indonesia, 2014), hal. 57-58.
[4] Ibid, hal. 61.
[5] Siswanto, joko. “Infak,
zakat, haji, wakaf dan pengelolaannya”. http://jokosiswanto77.blogspot.com/2010/06/infak-zakat-haji-wakaf-dan.html. diakses 13 Maret 2015.
[6] Kementrian Agama Republik
Indonesia, “Buku Guru, FIKIH” Madrasah Aliyah kelas X,(Jakarta:
Kementrian Agama Republik Indonesia, 2014), hal. 129.
[7] Siswanto, joko. “Infak,
zakat, haji, wakaf dan pengelolaannya”. http://jokosiswanto77.blogspot.com/2010/06/infak-zakat-haji-wakaf-dan.html. diakses 13 Maret 2015.
suwun mas tapi tulisane diperjelas ora usah eneng werno putih marai loro moto trus tulisan "semoga bermanfaat" diilangi wae kui marai sing moco risih motone trus ra iso fokus
ReplyDeleteHatur nuwun kritik nd sarannya..... maaf atas kekurangan dalam blog ini...
ReplyDelete