Thursday 16 October 2014

Makalah Pendidikan Tentang 'TEORI BELAJAR KOGNITIF'



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan tentang teori kognirif menurut beberapa tokoh, aplikasi teori kognitif dalam kegiatan pembelajaran, dan implikasi teori kognitivistik dalam pembelajaran.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian belajar menurut pandangan teori kognitif?
2.      Siapa saja tokoh-tokoh teori belajar kognitif?
3.      Bagaimankah aplikasi teori kognitif dalam kegiatan pembelajaran?
4.      Bagaimanakah implikasi teori kognitifistik dalam pembelajaran?








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Belajar Menurut Teori Kognitif
Teori belajar kognitif berbeda dengan teori belajar behavioristik, teori belajar kognitif leih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Tidak seperti model belajar behavioristik yang mempelajari prses belajar hanya sebagai hubungan stimulus-respon, model belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model perceptual. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku sesorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya.  Perubahan Belajar merupakan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebaigai tingkah laku yang nampak.
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian bahawa dari sistuasi salaing berhubungan dengan seluruh kontek situasi tersebut. Memisah-misahkan atau membagi-bagi situasi /materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup  ingatan, retensi, pengolahan infirnasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berfikir yang ssangat komplek. Prose belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diitrerima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan sudah terbentuk dalam diri sesorang berdasarkan pemahman dan pengalaman-pengalaman sebelumnnya. Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-rumusan seperti: “tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh j.piaget, advance organizer oleh ausubel, pemahaman konsep oleh bruner, hirarki belajar oleh gagne, webteacing oleh norman dan sebagainya.[1]
B.       Beberapa Tokoh-Tokoh Teori Belajar Kognitif
1.         Teori perkembangan menurut piaget
Piaget adalah seorang tokoh psikologi kognitif yang besar pengaruhnnya terhadap perkembangan pemikiran para pakar kognitif lainnya. Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses  genetic, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan system saraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka semakin komplekslah susunan sel sarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai suatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya pikir daya berpikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.[2]
Jean Piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahap:[3]
a.    Tahap sensory – motor, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun, Tahap ini diidentikkan dengan kegiatan motorik dan persepsi yang masih sederhana.
b.    Tahap pre – operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun. Tahap ini diidentikkan dengan mulai digunakannya symbol atau bahasa tanda, dan telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstrak.
c.    Tahap concrete – operational, yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Tahap ini dicirikan dengan anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis. Anak sudah tidak memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif.
d.   Tahap formal – operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15 tahun. Ciri pokok tahap yang terahir ini adalahanak sudah mampu berpikir abstrak dan logisdengan menggunakan pola pikir “kemungkinan”.
Dalam pandangan Piaget, proses adaptasi seseorang dengan lingkungannya terjadi secara simultan melalui dua bentuk proses, asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi jika pengetahuan baru yang diterima seseorang cocok dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang tersebut.  Sebaliknya, akomodasi terjadi  jika struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang harus direkonstruksi / di kode ulang disesuaikan dengan informasi yang baru diterima.
Dalam teori perkembangan kognitif ini Piaget juga menekankan pentingnya penyeimbangan (equilibrasi) agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuan sekaligus menjaga stabilitas mentalnya.Equilibrasi ini dapat dimaknai sebagai sebuah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya. Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi
2.         Teori Belajar Menurut Bruner
Bruner menekankan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan. Bruner meyakini bahwa pembelajaran tersebut bisa muncul dalam tiga cara atau bentuk, yaitu: enactive, iconic dan simbolic.[4]
Pembelajaran enaktif mengandung sebuah kesamaan dengan kecerdasan inderawi dalam teori Piaget. Pengetahuan enaktif adalah mempelajari sesuatu dengan memanipulasi objek–melakukan pengatahuan tersebut daripada hanya memahaminya. Anak-anak didik sangat mungkin paham bagaimana cara melakukan lompat tali (‘melakukan’ kecakapan tersebut), namun tidak terlalu paham bagaimana menggambarkan aktifitas tersebut dalam kata-kata, bahkan ketika mereka harus menggambarkan dalam pikiran. Pembelajaran ikonik merupakan pembelajaran yang melalui gambaran; dalam bentuk ini, anak-anak mempresentasikan pengetahuan melalui sebuah gambar dalam benak mereka. Anak-anak sangat mungkin mampu menciptakan gambaran tentang pohon mangga dikebun dalam benak mereka, meskipun mereka masih kesulitan untuk menjelaskan dalam kata-kata. Pembelajaran simbolik, ini merupakan pembelajaran yang dilakukan melalui representasi pengalaman abstrak (seperti bahasa) yang sama sekali tidak memiliki kesamaan fisik dengan pengalaman tersebut. Sebagaimana namanya, membutuhkan pengetahuan yang abstrak, dan karena simbolik pembelajaran yang satu ini serupa dengan operasional formal dalam proses berpikir dalam teori Piaget.
Jika dikorelasikan dengan aplikasi pembelajaran, Discoveri learningnya Bruner dapat dikemukakan sebagai berikut:
a)        Belajar merupakan kecenderungan dalam diri manusia, yaitu Self-curiousity (keingintahuan) untuk mengadakan petualangan pengalaman.
b)        Belajar penemuan terjadi karena sifat mental manusia mengubah struktur yang ada. Sifat mental tersebut selalu mengalir untuk mengisi berbagai kemungkinan pengenalan.
c)        Kualitas belajar penemuan diwarnai modus imperatif kesiapan dan kemampuan secara enaktif, ekonik, dan simbolik.
d)       Penerapan belajar penemuan hanya merupakan garis besar tujuan instruksional sebagai arah informatif.
e)        Kreatifitas metaforik dan creative conditioning yang bebas dan bertanggung jawab memungkinkan kemajuan.

3.         Teori Belajar Bermakna Ausubel.
Psikologi pendidikan yang diterapkan oleh Ausubel adalah bekerja untuk mencari hukum belajar yang bermakna, teori-teori belajar yang ada selama ini masih banyak menekankan pada belajar asosiatif atau belajar menghafal. Belajar demikian tidak banyak bermakna bagi siswa.[5] Berikut ini konsep belajar bermakna David Ausubel.
Pengertian belajar bermakna. Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful learning) dan (2) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah siswa berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna.
Sebagai ahli psikologi pendidikan Ausubel menaruh perhatian besar pada siswa di sekolah, dengan memperhatikan/memberikan tekanan-tekanan pada unsur kebermaknaan dalam belajar melalui bahasa (meaningful verbal learning). Kebermaknaan diartikan sebagai kombinasi dari informasi verbal, konsep, kaidah dan prinsip, bila ditinjau bersama-sama. Oleh karena itu belajar dengan prestasi hafalan saja tidak dianggap sebagai belajar bermakna. Maka, menurut Ausubel supaya proses belajar siswa menghasilkan sesuatu yang bermakna, tidak harus siswa menemukan sendiri semuanya. Malah, ada bahaya bahwa siswa yang kurang mahir dalam hal ini akan banyak menebak dan mencoba-coba saja, tanpa menemukan sesuatu yang sungguh berarti baginya. Seandainya siswa sudah seorang ahli dalam mengadakan penelitian demi untuk menemukan kebenaran baru, bahaya itu tidak ada; tetapi jika siswa tersebut belum ahli, maka bahaya itu ada.
Ia juga berpendapat bahwa pemerolehan informasi merupakan tujuan pembelajaran yang penting dan dalam hal-hal tertentu dapat mengarahkan guru untuk menyampaikan informasi kepada siswa. Dalam hal ini guru bertanggung jawab untuk mengorganisasikan dan mempresentasikan apa yang perlu dipelajari oleh siswa, sedangkan peran siswa di sini adalah menguasai yang disampaikan gurunya.
Belajar dikatakan menjadi bermakna (meaningful learning) yang dikemukakan oleh Ausubel adalah bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu mampu mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
Belajar seharusnya merupakan apa yang disebut asimilasi bermakna, materi yang dipelajari di asimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya. Untuk itu diperlukan dua persyaratan:[6]
1.        Materi yang secara potensial bermakna dan dipilih oleh guru dan harus sesuai dengan     tingkat    perkembangan dan pengetahuan masa lalu peserta didik.
2.        Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna, faktor motivasional memegang peranan   penting dalam hal ini, sebab peserta didik tidak akan mengasimilasikan materi baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya. Sehingga hal ini perlu diatur oleh guru, agar materi tidak dipelajari secara hafalan.
Berdasarkan uraian di atas maka, belajar bermakna menurut Ausubel adalah suatu proses belajar di mana peserta didik dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya dan agar pembelajaran bermakna, diperlukan 2 hal yakni pilihan materi yang bermakna sesuai tingkat pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa dan situasi belajar yang bermakna yang dipengaruhi oleh motivasi.
Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa. Ausubel tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan belajar penemuan (discovery learning) lebih bermakna daripada kegiatan belajar penerimaan (reception learning). Sehingga dengan ceramahpun, asalkan informasinya bermakna bagi peserta didik, apalagi penyajiannya sistematis, akan dihasilkan belajar yang baik.

C.    Aplikasi Teori Kognitif dalam Kegiatan Pembelajaran
Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktivitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perceptual, dan proses internal. Kegiatan pembelajaran yang berpihak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak digunakan. Dalam menemukan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran, tidak lagi mekanistik sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan behavioristik. Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa. Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut:[7]
1.    Siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berfikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
2.    Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik terutama jika mendengarkan benda-benda kongrit.
3.    Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
4.    Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi perlu mengkaitkan pengalaman atau informasi baru dengan struktur kognitif yang telah memiliki si belajar.
5.    Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
6.    Belajar memahami akan lebih bermakna daripada belajar mneghafal.
7.    Adanya perbedaan individual pada diri siswa pelu diperhatikan karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.

D.    Implikasi Teori Balajar Psikologi Kognitif dalam Pembelajaran
Dalam perkembangan setidaknya ada tiga teori belajar yang bertitik tolak dari teori kognitivisme ini yaitu: Teori perkembangan piaget, teori kognitif Brunner dan Teori bermakna Ausubel. Ketiga tokoh teori penting ini yang dapat  mengembangkan teori belajar kognitif.[8]
Teori Kognitif Piaget Brunner Ausubel, Proses belajar terjadi menurut pola tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umur siswa. Proses belajar terjadi melalui tahap-tahap:
1.    Asimilasi (penyesuaian (peleburan) sifat asli yg dimiliki dng sifat lingkungan sekitar; 2 Ling perubahan bunyi konsonan akibat pengaruh konsonan yg berdekatan)
2.    Akomodasi (penyesuaian mata untuk menerima bayangan yg jelas dr objek yg berbeda; 3 Antr penyesuaian manusia dl kesatuan sosial untuk menghindari dan meredakan interaksi ketegangan dan konflik; 4 Sos penyesuaian sosial dl interaksi antara pribadi dan kelompok manusia untuk meredakan pertentangan;)
3.    Equilibrasi
Proses belajar lebih ditentukan oleh karena cara kita mengatur materi pelajaranan bukan ditentukan oleh umur siswa. Proses belajar terjadi melalui tahap-tahap:
1.    Enaktif (aktivitas)
2.    Ekonik (visual verbal)
3.    Simbolik
Dari ketiga macam teori diatas jelas masing-masing mempunya implikasi yang berbeda, namun secara umum teori kognitivisme lebih mengarah pada bagaimana memahami struktur kognitif siswa, dan ini tidaklah mudah, Dengan memahami struktur kognitif siswa, maka dengan tepat pelajaran bahasa disesuaikan sejauh mana kemampuan siswanya. Selain itu, juga model penyusunan materi pelajaran bahasa arab hendaknya disusun berdasarkan pola dan logika tertentu agar lebih mudah dipahami. Penyusunan materi pelajaran bahasa arab di buat bertahap mulai dari yang paling sederhana ke kompleks. hendaknya dalam proses pembelajaran sebisa mungkin tidak hanya terfokus pada hafalan, tetapi juga memahami apa yang sedang dipelajari, dengan demikian jauh akan lebih baik dari sekedar menghafal kosakata.


[1] Asri Budiningsih, Belajar dan pembelajaran (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hal. 34.
[2] Ibid…, hal. 35.
[3]Winfred F. Hill,  Theories of Learning (Teori-teori dalam Pembelajaran,Konsepsi, Komparasi, dan Signifikan) (Bandung: Nusa Media, 2011), hal. 160-161.
[4] Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran....., hal. 40-41.
[5] Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran....., hal. 43.
[6] Ibid...,
[7] Ibid...,
[8] Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar (Jakarta: Rineka Cipta,  2008), hal. 35.

2 comments:

  1. nice post
    jangan lupa mampir http://undy-blog.blogspot.com/

    ReplyDelete
  2. enggeh... matur suwun.... :-)

    ReplyDelete